Tuesday, August 29, 2006

Cacat Bukanlah Penghalang

Lazimnya toko ataupun supermarket di Jepang, pada saat kita hendak membayar barang yang dibeli, selain memeriksa barcode dengan scanner petugas kasir juga menyebutkan harga barangnya. Biasanya saya tidak terlalu perhatian dengan harga yang disebutkan oleh petugas kasir. Saya lebih tertarik melihat akumulasi harga yang tertera di layar monitor mesin kasir. Sehingga saya bisa langsung mengetahui berapa uang yang harus dibayarkan.

Suatu ketika saya mendengar petugas kasir tidak terlalu jelas menyebutkan harga barang yang saya beli. Suaranya juga terdengar sedikit aneh. Hal itu membuat saya tertarik untuk memperhatikan petugas kasir tersebut. Sesaat saya tertegun, kemudian tersadar bahwa saya sedang dilayani oleh seorang kasir penyandang tunarungu. Sebelumnya saya belum pernah mengalami kejadian seperti ini karena saya memang jarang berbelanja di supermarket tersebut.

Setelah membayar harga barang-barang, saya menyempatkan untuk memperhatikan cara kerja petugas kasir itu dengan petugas lainnya (yang tidak cacat). Kesimpulan saya, tidak ada yang berbeda dengan cara mereka bekerja. Yang berbeda hanyalah saat mereka menyebutkan harga saja.

****
Pada hari yang lain saya berada dalam barisan antrian di depan ATM. Tanpa sengaja saya melihat ada anggota barisan yang memegang tongkat, dan sesekali mengetukkannya ke lantai. Setelah saya perhatikan lebih seksama, ternyata orang itu seorang tunanetra.

Mesin ATM di Jepang memang dilengkapi dengan suara operator. Namun tetap saja kita harus menekan tuts pilihan transaksi dan juga memasukkan angka. Lalu bagaimana cara orang itu memilih transaksi dan memasukkan angkanya? Pertanyaan itu seketika melintas di kepala saya.

Setelah saya berada persis di depan mesin ATM, tahulah saya jawabannya. Ternyata selama ini saya tidak memperhatikan bahwa ada mesin ATM yang juga dilengkapi dengan huruf Braille. Huruf yang biasa digunakan oleh para penyandang tunanetra.

****

Lain waktu saya harus menanyakan urusan administrasi di kantor asrama mahasiswa tempat kami tinggal. Saya tidak menyangka bahwa saya akan kembali dilayani oleh seorang penyandang cacat. Kantor administrasi itu ternyata juga menerima pekerja yang menyandang cacat tunarungu.

Petugas tersebut melayani saya dengan ramah. Tak beda dengan petugas lainnya. Dengan segala kemampuannya, petugas penyandang tunarungu itu berusaha memberi penjelasan yang sejelas-jelasnya atas pertanyaan saya. Cacat tunarungu tak menghalanginya untuk bersikap profesional dalam bekerja. Meskipun kemampuan bahasa Jepang saya masih jauh dari level advance, alhamdulillah saya merasa jelas dengan penjelasannya.
****

Pengalaman-pengalaman itu menyisakan pertanyaan di kepala saya Bagaimana para penyandang cacat tersebut dididik sehingga mereka mempunyai rasa percaya diri yang begitu besar untuk berbaur dengan orang normal? Bahkan berani bekerja memberikan pelayanan di tempat umum tanpa rasa minder? Tentu tidak mudah bagi mereka untuk melakukan hal itu.

Dari seorang teman, saya mendapatkan pencerahan atas pertanyaan tersebut. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan psikologis penyandang cacat, adalah satu cara membangkitkan rasa percaya diri mereka. Dan keluarga sangat memainkan peran penting ini. Sehingga mempunyai anggota yang cacat tidak dirasa sebagai beban dalam suatu keluarga.

Sejak kecil para penyandang cacat diingatkan bahwa mereka tidak kalah berartinya bagi orang lain. Dengan kata lain, walaupun cacat mereka tetap bisa memberikan manfaat bagi orang lain di sekitarnya. Hal itu dapat menjadi motivasi bagi para penyandang cacat untuk optimis memandang masa depan. Subhanallah, sungguh suatu pelajaran hidup yang menarik. Karena kitapun selalu diajarkan untuk dapat memberi manfaat bagi orang lain.
Wallahu'alam bisshowab.



Publikasi di eramuslim

Monday, August 28, 2006

The Painter and Eye

Pernahkah mengamati seorang pelukis wajah yang sedang bekerja? Perhatikanlah bagaimana pelukis tersebut mulai membuat sketsa detil-detil yang ada di wajah objek lukisannya. Mereka mencoba memindahkan secara manual apa yang mereka lihat pada objek ke atas kertas atau kanvas. Dan itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Semua itu membutuhkan kemampuan seni yang tinggi.

Saya pernah mengamati seorang pelukis wajah (amatir). Mulai dari sketsa bentuk wajah, rambut, alis, hidung dan bibir tampaknya tidak terlalu susah untuk dikerjakan. Saat mengerjakan bagian-bagian tersebut boleh dikatakan, pelukis itu hampir tidak menggunakan penghapus. Sepertinya yang paling susah adalah membuat mata. Pelukis itu menggunakan penghapus berkali-kali untuk bisa membuat mata yang mirip dengan objek lukisannya. Itulah hasil pengamatan saya.

Dalam hati saya bertanya, "mengapa pelukis itu tampak kesulitan saat membuat mata?"
"Apakah pelukis wajah yang lain juga mengalami kesulitan dalam hal tersebut?"
"Mungkin karena mata adalah jendela jiwa. Mata yang membuat ekspresi pada wajah. Senang ataupun sedih, mata pun ikut berbicara. Dan mata juga yang menjadi jiwa pada lukisan wajah sehingga tampak lebih hidup." Saya mencoba mencari jawaban sendiri.

Bagaimana dengan anda, pernah mengamati pelukis wajah???

Sunday, August 27, 2006

Art Town Tsukuba

image1Tsukuba summer festival 2006 has been held for two days, August 26-27. This year, "Art Town Tsukuba" has been the theme. And these are same pictures of that moment.


image2image3image4

Thursday, August 24, 2006

Job Opportunity

Seorang kerabat dekat yang baru berusia awal 40-an mengajukan permohonan pensiun dari pekerjaannya. Namun permohonan itu ditolak karena ada satu persyaratan yang belum terpenuhi. Berita itu cukup mengejutkan bagi saya. Setahu saya, beliau sangat bersemangat untuk mengaplikasikan ilmunya dan bercita-cita menjadi seorang ahli dalam bidangnya. Sungguh aneh rasanya bila beliau tiba-tiba ingin keluar dari pekerjaannya. Tanpa menunggu lama, rasa terkejutpun segera terjawab. Beliau merasa sudah lelah bekerja pada orang lain. Sekarang beliau mulai memikirkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
****

Cerita lainnya, tentang seorang teman Jepang (IRT, usia mendekati 40an). Sebelum menikah pernah lama bekerja di suatu kantor, namun memutuskan berhenti sejak menikah. Sekarang beliau ini sudah dikaruniai 2 orang putra yang sudah duduk di sekolah dasar. Saya pernah bertanya, "apa ga pengen kerja kantoran lagi? Kan anak-anak sudah mulai besar." Beliau menggeleng tegas. "Saya sudah puas bekerja kantoran. Sekarang waktu dan pikiran saya sepenuhnya untuk keluarga dan kegiatan sosial." Beliau ingin memberi kesempatan bagi yang muda, fresh graduated dan penuh ide-ide kreatif yang bersaing di dunia kerja.
****

Teman ayah saya (sebut aja Mr. X) beda lagi ceritanya. Menjelang masa pensiun, Mr. X ini mulai membangun jaringan dengan aktivis-aktivis partai politik. Alasannya biar ada jalan untuk menjadi caleg setelah pensiun nanti. Mumpung masih ada waktu sebelum pemilu yang akan datang katanya. Rupanya Mr. X ini berniat menjadi anggota legislatif setelah pensiun dari pekerjaannya. Secara garis besar, beliau masih ingin tetap kerja kantoran walaupun sudah pensiun.
****

Dua cerita pertama, menggambarkan subjek ingin memberikan posisi yang sebelumnya mereka tempati di tempat kerja kepada orang lain. Bahkan pada cerita pertama, subjek berkeinginan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Sebuah keinginan yang mulia. Apalagi mengingat meningkatnya angka pengangguran di tanah air, pemikiran seperti ini dapat menjadi solusi masalah pengangguran. Cerita ketiga, subjek adalah seorang yang mengabdikan hidupnya untuk bekerja, bekerja dan bekerja.

Ketiga cerita itu pada dasarnya tidaklah salah. Kitapun dianjurkan untuk bekerja dan berusaha seolah-olah kita akan hidup seribu tahun. Namun, ada hal lain yang juga perlu kita ingat bahwa hidup di dunia ini cuma sementara. Hidup kita di dunia ibarat musafir yang sedang dalam perjalanan menuju suatu tujuan. Dan dunia hanya sekedar tempat mampir, tempat kita mencari dan mengumpulkan bekal untuk dibawa ke kehidupan yang abadi. Dan sayapun sedang berusaha mengumpulkan bekal itu.
-(Terinspirasi dari bincang-bincang malam di Cibening)-

Tuesday, August 22, 2006

Bro-Kus

Udah tahu bro-kus?? Pasti lebih banyak yang jawab "Ya" dibanding "Tidak". Saya juga udah tahu lama sama bro-kus. Buat yang belum tahu atau pernah dengar istilah ini tapi masih samar-samar, nih saya kasih tahu ya.... Bro-Kus tuh singkatan dari brownies kukus.

Waktu ke Bandung beberapa waktu yang lalu, saya kaget lho?! Bro-Kus ternyata sedang menjamur di setiap sudut kota kembang. Sama seperti kondisi rumah (baca : bilik) saya di Tsukuba yang sedang berjamur dimana-mana. Kalo ini mah, bukan karena trend. Yang ini emang efek musim panas, kelembaban udara dalam ruangan sangat tinggi jadinya jamur tumbuh subur. Walaupun sebelumnya udah disemprot pake anti jamur, tetap aja tumbuh cuma densitasnya berkurang. Tiap tahun pasti ada kejadian begini. Kalo bro-kus bakalan musiman ga ya??? *sambil mikir*


Balik ke bro-kus lagi ya...... Dapat info dari sodara dan temen-temen, ternyata sekarang emang sedang trend brownies yang dikukus. Kalo di Jepang, brownies masih dipanggang. Jadinya sodara-sodara pada bilang, "brownies di Jepang ketinggalan jaman!" Dan waktu di Bandung itu, kemanapun mata saya memandang, kok lagi-lagi ngeliat penjual bro-kus. Sepertinya bro-kus itu pada punya magnet yang bisa menarik mata orang. *smile* Biar penasaran ga berlanjut, ya udah tuh bro-kus dibeli.

Setelah dicicip, hmmm.........???!

Sunday, August 20, 2006

New Episode

"Ya Allah, bahagiakanlah antara kedua mempelai ini sebagaimana Engkau telah membahagiakan antara nabi Adam AS & Siti Hawa, Yusuf AS & Zulaikha dan junjungan kami Muhammad SAW & Khadijah Al-Kubra. Ya Allah, panjangkanlah umur kami, terangilah hati kami, teguhkanlah iman kami, baguskanlah amal perbuatan kami, dekatkanlah kami menuju kebaikan, jauhkanlah kami dari keburukan, kabulkanlah hajat kami yang mendapat ridha-Mu dan kebaikan. Semoga Allah SWT, melimpahkan shalawat dan salam atas junjungan nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya." (Do`a Walimatul uruusy).

Dua tahun yang lalu ayah bunda mengiringiku memasuki episode kehidupan baru dengan restunya. Berlayar mengarungi samudera kehidupan dengan bahtera rumah tangga, bersama nahkoda seorang lelaki sederhana yang insyaAllah terbaik untukku. Kini dindaku sayang juga telah memulai episode baru hidupnya. Bersama menggapai asa dan cita. Tunai sudah amanah ayah bunda kepada dua dari tiga orang putrinya.

Dindaku sayang, samudera yang diarungi tidaklah selalu tenang. Terkadang ombak dan badai datang menerpa bahtera. Pandai-pandailah menyiasatinya sehingga bahtera dapat terus berlayar menuju tujuan akhir cinta. Bila resah dan gundah hati melanda, janganlah ragu memohon petunjuk dari sang pemilik cinta. Percayalah, Dia akan menghalau resah dan menenteramkan hati dengan cara yang tak terduga.



Teriring sayang untuk : Yaya dan Reza, semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.