Sunday, May 20, 2012

Bukan Wanita Biasa

Sore, kira-kira pukul 16.30 WIB.
Setelah dering ketiga, aku mendengar sahutan di seberang telepon.
"Halo mbak, aku dan suami sedang di jalan tapi agak macet nih... Mbak masih di rumah sakit?"
"Iya masih, tapi sudah diijinkan pulang sore ini. Baru aja selesai ngurus administrasi."
"Oo... gitu. Jadi baiknya aku kemana nih? Apa aku langsung ke rumah aja?"
"Boleh ga ke rumah sakit dulu? Aku minta tolong antarin pulang, soalnya ga ada yang jemput dan masih bingung mau pulang naik apa?"
"Oh iya, iya. Aku ke rumah sakit dulu deh, tunggu ya."
Klik, call ended.

Kamar rawat inap.
"Assalamu'alaikum... Wah, udah diberesin nih barang-barangnya, ya?! Gimana kondisinya? Selamat ya mbak."
"Wa'alaikum salam. Iya, makasih. Tinggal nunggu obat dari dokter."
Kulihat box disamping tempat tidurnya.
"Wuaa...mirip siapa nih? Kayaknya mirip kakak sulungnya ya?! Dedeknya sehat kan?!"
Sang ibu yang duduk di atas tempat tidurnya tersenyum memandang bayinya.
"Alhamdulillah sehat tapi setelah diperiksa dokter pagi tadi, bayinya ada alergi. Oh iya, kenalin ini teteh, tetangga di depan rumah."
Seorang wanita yang sejak tadi mebereskan barang-barang di kamar itu tersenyum padaku.
"Teteh ini yang kemarin nemanin ke rumah sakit dan nungguin selama persalinan."
"Makasih banyak bantuannya teh." Sambil ku sambut uluran tanggannya.

Bayi mungil itu masih terlelap di dalam box tanpa terganggu obrolan orang dewasa di sekitarnya. Tak lama kemudian, seorang perawat datang. Dia menyerahkan obat dan menjelaskan pemakaiannya. Serta tak lupa mengingatkan jadwal periksa ibu dan bayi selanjutnya. Setelah itu kami semua keluar menuju parkiran mobil, membawa bayi mungil itu pulang untuk bertemu kakak-kakaknya.
"Anak-anak siapa yang nemanin di rumah mbak?"
"Sama tantenya."

Tiga bocah lelaki menghambur ke pelukan ibunya ketika kami sampai di rumah. Bocah-bocah itu saling berebut ingin mencium adik bayinya yang baru lahir. Ternyata, bocah-bocah itu tidak diijinkan membesuk ke rumah sakit karena dua orang di antaranya sedang kurang sehat. Aku hanya bisa memandangi mereka. Bocah-bocah itu berceloteh dengan riang pada sang ibu kejadian di rumah selama ibunya di rumah sakit.

Aku melihat, bibir sang ibu tersenyum mendengar cerita putra-putranya tapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Mata itu letih dan sedih. Sesekali dia mengelus kepala bayi dalam dekapannya. Bayi itu putra keempatnya yang tidak sempat dilihat ayahnya. Yah, suaminya telah dipanggil yang maha kuasa saat sedang bertugas, meninggalkan dia bersama tiga orang anak lelaki dan janin berusia empat bulan di dalam kandungan. Dan almarhum suaminya adalah teman baik suamiku saat sama-sama kuliah di Bandung.

Tanpa disadari, mataku mulai berkaca-kaca. Aku memanjatkan do'a di dalam hati, semoga Allah senantiasa memberikan wanita ini kekuatan dan kesabaran untuk menjaga, membesarkan dan mendidik keempat anak yatim itu. Dia pasti bukan wanita biasa. Allah maha tahu akan kemampuannya.