Sunday, September 18, 2011

P a s s p o r t

Dapat tulisan bagus dari milis tetangga, banyak nilai berharga yang penting buat diketahui dan diamalkan. Enjoy it!
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.

Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?;

Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.

Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

Rhenald Kasali - Guru Besar Universitas Indonesia

Thursday, July 21, 2011

Saling Melengkapi

Masih tentang hobi nih. Tidak jarang, sepasang ataupun beberapa orang bersatu karena memiliki kesamaan hobi. Mereka membentuk grup / perkumpulan berdasarkan kesamaan tersebut. Bahkan ada yang menikah karena kesamaan hobi sebagai salah satu alasan memilih pasangan.

Saya dan suami, agak sedikit berbeda. Hobi kami tidak sama namun saling melengkapi satu sama lain.

Salah satu hobi suami saya adalah bermain musik. Darah seni memang mengalir di dalam keluarganya melalui sang ayah yang seorang gitaris dan violist sebuah band di masa mudanya. Hanya saja pada masa itu, bermusik bukanlah pilihan yang direstui untuk jadi sandaran hidup. Itu juga yang di-doktrin-kan kepada suami saya dan saudara-saudaranya sehingga musik hanya jadi penghibur di kala sepi atau salah satu penenang di saat suntuk pada rutinitas sehari-hari.

Ketika suami sedang memainkan melodi sebuah lagu, seringkali suara saya menyuarakan liriknya. Dengan nada yang lebih sering tidak cocok dengan nada dasar melodi yang sedang dimainkannya. Telinga awam pasti bisa mendeteksi kalau suara penyanyi tidak sama dengan nada dasar musiknya. Jelas saja jadi terdengar aneh. Kalo meminjam istilah Tukul Arwana, listening skill-nya beda. Telinga saya tidak terlatih mendengarkan nada musik dengan tepat. Kalau sudah begitu, biasanya suami protes. "Dengerin intro-nya dong... Lagu ini, mainnya di nada apa? Trus cocokin suaranya!"
Biasanya saya hanya nyegir. Tapi kadang sempat nyeletuk juga, "makanya bikin lagu sendiri dong... Yang sesuai suaraku. Masak main musik tapi yang dimainin lagu orang melulu."

Lain suami, lain pula saya. Hobi yang sudah dijalani sejak kecil adalah membaca. Terutama bacaan fiksi yang berupa cerpen dan novel. Tapi jangan mengira koleksi novel saya banyak ya?! Karena saya senang membaca tapi tidak senang membeli. Ada banyak cara untuk mendapatkan bacaan tanpa harus membeli.  Terkadang suami kelihatannya ingin tahu isi novel yang saya baca tapi langsung nyerah ketika melihat jumlah halamannya yang tebal. Dan sayalah yang diminta menceritakan isinya lengkap dengan pelajaran / hikmah yang bisa diambil. Tentu aja, sesuai interpretasi saya.

Untuk sebuah novel yang menurut saya bagus dan menarik, saya tahan lek-lekan (bergadang) untuk menamatkannya.  Dan saya bisa membacanya berulang-ulang kali. Suami pernah bertanya ketika dilihatnya saya membaca novel yang sama berkali-kali.
"Apa ga bosan, baca novel yang sama berulang-ulang? Toh, ceritanya sama aja kan?!"
"Itulah tandanya novel yang bagus dan menarik. Dibaca berkali-kalipun, ga ngebosanin."
"Dimana sih menariknya?"
"Bisa ide ceritanya, karakter tokoh-tokohnya. Banyak hal deh yang bikin betah ngebacanya."
"Ah, bisanya cuma baca aja. Tulis novel sendiri dong, yang enak dibaca orang berkali-kali"
Saya tinggal nyengir aja.

Trus hobi saya yang lain adalah mencoba dan memodifikasi resep kue atau masakan. Yang banyak saya coba, resep kue. Baik itu resep dari majalah, tabloid atau hasil browsing. Biasanya saya mimilih resep kue yang kira-kira bisa dimakan oleh suami karena saya sendiri tidak suka ngemil. Hasilnya bisa sukses dan tak jarang gagal juga. Namun bagaimanapun hasilnya (asalkan ga hancur-hancur banget), tetap ludes dimakan suami. Itulah hikmahnya saling melengkapi hobi :D

Tuesday, June 14, 2011

Mobil - mobil(an)

Kalau kita  memperhatikan anak-anak (laki-laki) yang suka dengan mobil-mobilan, biasanya jumlah yang mereka memiliki bisa lebih dari satu. Bahkan keponakan laki-laki saya, mempunyai satu keranjang mainan mobil-mobilan dengan berbagai tipe mobil. Dari yang berukuran besar sampai yang kecil. Itu yang masih bisa dikumpulkan, belum termasuk yang hilang. Wajar saja bila dipajang akan memenuhi satu lemari etalase.

Bagaimana kalau bukan mobil-mobilan melainkan mobil beneran? Memang ada sebagian orang yang hobi mengoleksi aneka jenis mobil. Hobi yang terbilang mahal, menurut saya. Tapi kalau sudah berhubungan dengan hobi, kadang-kadang memang tidak bisa sejalan dengan logika.

Suatu waktu saya pernah membaca ulasan tentang kekayaan calon presiden (sebelum pemilu tahun 2004, kalau tidak salah). Salah satu calon capres memiliki dua belas mobil di garasi rumahnya, produksi dari berbagai perusahaan otomotif dan berbagai tipe. Garasi rumahnya melebihi pemandangan show room produsen mobil. Berita yang sedang hangat baru-baru ini, juga terkait dengan koleksi mobil mewah seorang tersangka kasus pembobolan dana nasabah sebuah bank terkenal. Mobil-mobil itu kemudian disita oleh pihak kepolisian, sehingga kantor polisi mendadak menjadi show room mobil mewah.

Seorang tetangga baru di depan rumah saya, agaknya juga mempunyai hobi mengoleksi mobil. Mereka baru tinggal kurang lebih satu bulan. Saya perhatikan mereka punya tiga mobil dengan tipe yang berbeda yaitu, jeep, sedan dan minibus. Garasi rumah yang mereka tempati hanya bisa untuk satu mobil. Trus dua mobil lainnya parkir dimana dong? Kadang di depan rumahnya, kadang di depan rumah orang lain atau dimana yang ada space kosong untuk parkir. Tak jarang, mobil yang parkir di luar garasi tersebut mengganggu kelancaran lalu lintas di komplek perumahan saya. Saya perhatikan, setiap hari hanya satu mobil yang selalu dipakai keluar, dua lainnya tetap parkir. Dan celakanya, bukan hanya satu tetangga yang seperti itu. Tetangga yang agak jauh (beda 5 rumah dari tempat saya), juga memiliki banyak mobil dan memakai salah satu sisi jalan untuk parkir. Ruwet deh!

Sekali lagi, hobi kadang-kadang memang tidak bisa sejalan dengan logika. Kalo menurut saya, kalau hobi mengoleksi mobil ada baiknya menyiapkan lahan atau tempat yang memadai untuk parkir. Entah itu memperluas garasi, mencari lahan kosong atau menyewa lahan parkir. Jangan sampai hobi kita menggangu orang lain. Lebih baik lagi bila memiliki mobil seperlunya saja, daripada punya banyak mobil tapi jarang dipakai, hanya untuk pajangan di jalan umum. Kalo ga, koleksi mobil-mobilan aja dulu :)

Tuesday, February 01, 2011

Setahun Kemarin

Tanpa terasa bulan Januari sudah berlalu. Janus (dewa dalam mitologi Romawi) yang wajahnya menghadap ke depan dan belakang pada saat bersamaan, perlahan sudah mulai menjauh. February is coming. Bulan cinta dan kasih sayang bagi sebagian orang.

Masih jelas dalam ingatan saya, Februari tahun lalu, bulan yang sangat sibuk menjelang kepulangan ke tanah air. Banyak urusan yang harus diselesaikan dengan baik sebelum meninggalkan bumi sakura. Mulai dari administrasi kependudukan, konfirmasi jadwal kedatangan dengan keluarga dan termasuk minta dicarikan tempat tinggal yang layak saat kami kembali ke Cibinong, hingga mengosongkan barang-barang dari kamar asrama tempat kami tinggal. Di antara semua urusan tersebut, mengosongkan kamar adalah kesibukan yang sangat menyita waktu dan tenaga.

Tak ada malam yang kami lewatkan tanpa menyortir dan mengepak, karena siang hari saya dan suami membereskan aktivitas di luar. Sebagian barang akan kami kirim ke Indonesia. Sebagian lagi akan ditinggalkan saja. Barang yang ditinggalkan, dipilah lagi karena ada beberapa teman yang membutuhkannya dan sebagian yang lain akan kami buang. Pada waktu itu, ingin rasanya menjadi magician yang bisa menyulap segala sesuatu sesuai keinginan dalam  waktu singkat. Membereskan semuanya dalam satu malam. Tapi jelas itu satu hal yang mustahil mengingat kami juga perlu beristirahat. Apalagi saat itu masih musim dingin, kelelahan fisik yang berlarut-larut bisa menurunkan kesehatan tubuh. Seperti cerita Cinderella, akhirnya kami membatasi kerja ini hingga jam 12 malam. Begitu kedua jarum jam bersatu pada angka 12, aktivitas penyortiran dan pengepakan harus berhenti untuk selanjutnya berangkat tidur.

Sejak awal menginjakkan kaki di Jepang, kami menyadari bahwa negeri itu adalah tempat persinggahan sementara. Bagi kami, hidup yang lebih lama akan dijalani di tanah air. Bukannya tidak senang hidup di negeri maju dan sejahtera seperti di Jepang tetapi kami juga punya keinginan untuk membahagiakan orang-orang tercinta yang begitu berharap untuk bisa berkumpul bersama kami.

Sekarang kami mulai menata hidup sedikit demi sedikit. Memang tidak semudah hidup di Jepang karena di tanah air banyak perbedaan signifikan yang harus kami hadapi. Tantangan. Tapi melihat sinar-sinar penuh cinta dan bahagia dari mata yang sudah termakan usia, kami seakan mendapat tambahan energi kehidupan. Berbahagialah bagi mereka yang masih bisa berkumpul dengan orang-orang tercinta, sebelum yang tua pergi atau yang muda mendahului tanpa bisa kembali.