Tuesday, June 19, 2007

Panggil Saya Shinta

Lama ga posting, sekalinya posting ceritanya paanjaaang.... Semoga cerita ini ga membosankan. Kalo dirasa penat, rehat dulu atau main dulu ke blog lain trus jangan lupa balik ke sini lagi biar ga penasaran sama ending posting ini.
*****
Sebelum menginjakkan kaki di negeri sakura, saya membayangkan bahwa mungkin mayoritas orang Jepang akan menganggap aneh pada busana yang saya kenakan. Kala itu yang terpikir oleh saya, pasti banyak yang heran atau mungkin bertanya tentang busana. Wajar saja karena sedikit sekali orang Jepang (asli) yang muslim. Apalagi saat musim panas, mungkin mereka bakalan terheran-heran melihat cara berpakaian saya yang berbeda 180 derajat dengan orang-orang kebanyakan. Itu pikiran saya sebelumnya tapi setelah benar-benar menginjakkan kaki, tinggal dan bergaul dengan berbagai orang (tidak hanya orang Jepang asli tapi juga dari negara lainnya), ada hal lain yang mereka anggap aneh selain busana.


Yah, ada yang lain. Dan hal itu adalah "nama". Tidak hanya saya, tapi juga nama teman-teman Indonesia lainnya.

Keanehan itu bermula dari pengisian aplikasi mendapatkan eligibility untuk pengurusan visa saya. Sewaktu mengisi form tersebut, suami saya bertanya pada tutor-nya tentang hal-hal yang tidak dimengerti lalu juga minta dikoreksi apa-apa yang sudah diisi. Tutor-nya heran, kenapa nama saya yang diisi di dalam form tersebut tidak mencantumkan nama suami (baca : nama keluarga suami)? Waktu itu suami saya jawab (kalo ga salah), dia menulis nama saya sesuai dengan yang tercantum pada paspor. Tidak tahu juga, apakah tutor merasa jelas atau menganggap wanita Indonesia setelah menikah tidak harus mengikuti nama suami. Yang jelas, tidak ada pertanyaan lebih lanjut.

Berikutnya, sewaktu mendaftarkan diri di city office untuk mendapatkan ID card sebagai orang asing yang tinggal di Tsukuba (Jepang) dan mengurus asuransi kesehatan. Karena status visa saya yang dependent dengan visa suami, jadi harus mencantumkan hubungan antara kita berdua. Ya jelas hubungannya suami-istri dong ya... ?! Petugasnya sempat menatap aneh pada kita berdua waktu mengecek form yang kita isi (pas bagian relation with applicant). Tapi ga bertanya, mungkin maklum karena kita orang asing.

Naah... Pengalaman yang seru terjadi waktu saya mengikuti kelas bahasa Jepang. Mau tahu gimana serunya??? Cerita serunya silahkan dibaca setelah image berikut.


Di setiap level yang saya ikuti, nama selalu menjadi topik diskusi awal kelas. Kebetulan waktu itu hanya saya yang dari Indonesia. Supaya memudahkan, setiap orang yang ada di kelas (termasuk sensei) harus menulis nama dan negara asalnya pada name tag ukuran besar yang diletakkan didepan meja. Nama ditulis dalam huruf katakana dan Latin (Romaji) atau katakana dan kanji (bagi peserta yang negaranya juga menggunakan huruf kanji). Sebagian besar peserta berasal dari China dan Korea Selatan. Nama mereka kalo ditulis tidak sampai memenuhi kertas name tag yang disediakan walaupun sudah ditulis dengan huruf katakana. Misalkan Lou Ming Chen atau Hou En. Singkat kan?! Gimana dengan nama saya?? Kalo nama saya ditulis dengan katakana jadinya panjaaaang dan bikin kertas name tag jadi penuh.

Karena nama saya lain sendiri, sensei pernah tanya nama keluarga saya yang mana? Nama depan atau nama belakang? Formalnya memang nama keluarga yang dipake untuk panggilan atau berkenalan. Saya jawab aja, kalo saya ga pake nama keluarga dan sensei (juga teman-teman) bisa panggil saya Shinta.

Okashii! (Aneh) menurut mereka. Kenapa ga pake nama keluarga dari suami? Suami juga ga pake nama keluarga. Saya jelasin bahwa orang Indonesia banyak yang ga punya nama keluarga. Meskipun ada penduduk daerah/suku tertentu yang memang mewariskan nama keluarganya. Seperti orang Batak, Ambon, Manado dan suku lainnya yang punya dan mewariskan nama keluarga bagi keturunannya. Sekarang mungkin sudah banyak anak-anak yang menyandang nama keluarga (biasanya diambil dari nama belakang ayahnya). Tetapi pemberian nama keluarga (di Indonesia) belum ada peraturan yang mengharuskan. Pake nama keluarga boleh-boleh saja tapi kalau tidak dipake pun tidak masalah. Kayaknya mereka masih menganggap aneh tentang fenomena nama keluarga di Indonesia sehingga bikin mereka ingin tahu lebih jauh.

Sensei bilang, nama keluarga itu juga menandakan siapa nama orang tua (biologis) kita. Kalo tidak ada nama keluarga, gimana orang bisa tahu siapa orang tua kita? Ooo... kalo masalah itu, di Indonesia setiap anak harus punya akte kelahiran. Itu salah satu dokumen penting yang harus dimiliki. Di situ akan tertera siapa orang tua kandungnya.

Masih terheran-heran dengan penjelasan saya, sensei bertanya lagi. Berarti 2 kata itu semuanya nama Shinta san? Ya, semuanya nama saya. Apa mayoritas orang Indonesia namanya terdiri dari 2 kata? Soalnya nama orang Jepang terdiri dari 2 kata, given name and family name. Saya jawab, tidak selalu 2 kata karena banyak juga orang Indonesia yang namanya lebih dari 2 kata. Dan yang hanya satu kata juga ada. Hahh?? Kayaknya sensei dan teman-teman jadi bingung.

Tahu Dewi fujin? Ratna Sari Dewi (janda mendiang presiden Soekarno) di Jepang dipanggil Dewi fujin. Artinya madam Dewi. Suaminya kan presiden Indonesia yang pertama dan namanya Soekarno. Hanya satu kata, tanpa nama keluarga. Yah begitulah nama orang Indonesia.

Trus sensei pengen tahu juga aturan nama teman-teman lainnya. Jadi tambahan pengetahuan juga nih buat saya. Orang China dan Korea juga mewarisi nama keluarga. Hanya saja tidak seperti orang Jepang (dan orang-orang Barat mungkin termasuk juga Afrika), wanita China juga Korea yang sudah menikah tetap membawa nama keluarga sewaktu gadisnya. Jadi tidak mengikuti nama keluarga suami. Nama keluarga suami diwariskan kepada anak-anaknya.

Suami saya pernah bertanya, kenapa saya tidak memakai namanya dibelakang nama saya kalau menulis surat atau apa saja yang perlu mencantumkan nama (selain dokumen resmi)? Yah, saya lebih suka aja memakai nama saya sendiri tanpa embel-embel suami. Demikian juga kalo berkenalan. Ini hanya masalah kesukaan aja kok. Ada lho teman yang kalo berkenalan menyebutkan nama suaminya. Misalkan, kenalkan saya bu Agung. Maksudnya namanya suaminya Agung. Namanya sendiri tidak disebutkan. Kalo saya selalu menyebutkan nama saya sendiri. Kalo ditanya, istrinya siapa ya? Atau, suaminya yang mana ya? Baru deh saya menyebutkan nama suami. Saya bukan bermaksud tidak menghargai suami tetapi ingin orang mengenal saya apa adanya tanpa dikaitkan dengan embel-embel suami. Toh, tanpa embel-embel tetap aja akhirnya saya akan dikaitkan dengan suami. Karena dalam pernikahan suami adalah pakaian istri dan begitu pula sebaliknya.

Jadi teringat cerita salah seorang teman. Kebetulan dia memakai nama belakang ayahnya. Mungkin orang tuanya ingin mewariskan nama keluarga. Tapi setelah menikah timbul konflik batin. Menurut dia, ada perasaan sedih ketika menulis nama dan mengganti nama belakangnya dengan nama suami. Kalo tetap menulis nama ayahnya ntar bisa dikira itu nama suaminya (kalo orang yang tidak kenal). Kalo dihilangkan, kok ya jadi sedih.... Akhirnya dia menyiasati dengan tetap menuliskan inisial nama ayahnya baru diikuti nama suami. Lagi-lagi karena tidak ada aturan khusus tentang penamaan di negara kita.

Hal seperti itu tidak bermasalah bagi kaum lelaki, karena tidak terlalu berpengaruh. Saya sempat berpikir, kalau nanti punya anak perempuan tidak perlu memakai nama belakang ayahnya karena akan berubah ketika dia menikah kelak. Tapi suami saya kira-kira setuju ga ya??

12 comments:

putri said...

Hehehe... iya sama kita. Trus waktu daftarin Bilah ke sekolah, Familie Name-nya lain lagi jadi ada pertanyaan : "Anak ini anak siapa? TAnggungjawab ada di siapa? bapaknya atau ibunya?" *gubrak* kaget trus ketawa hahaha... ya anaknya ber2 tanggungjawab ber2 ya :P

Anisa said...

Sama mbak Shinta,sampe saat ini kok rasanya saya masih kaku dan hampir gak pernah saya lakukan kalau kenalan sebut nama suami. Saya selalu bangga memperkenalkan nama saya sendiri, bangga akan pemberian nama orang tua.
Bukan maksud hati merendahkan/tdk menghargai suami, tapi saya lebih pd kalo nyebut namaku.

Ryuta Ando said...

Nah ini pelajaran baru nih, saya juga sempet posting masalah ini. Klo Shinta punya anak, jangan lupa kasih nama family namenya, dan klo anak nanti merried ya urusan nantilah apa dia mau ganti nama suami atau nama pemeberian orang tua. Senewen ya kadang ngurusin nama pas kita tinggal diluar negeri..

Evy said...

hihihi jadi ribet yak...bkin pusing ajah:)
tapi masalah nama emg penting bgt dsana buat nunjukin silsilah keluarga
smntra kita dsni cendrung cuek ajah hehe:D

Azzah said...

wah pikiranya sma tuh ama bapak mertuaku shin, anak laki2nya dikasih nama belakang dia (family name), tapi klo yg perempuan tidak, karena entar jg ilang ngikut nama suami, kalau bapakku hmm.. nama anaknya 2 kata semua, ndak ada family name jg, soalnya cewek semua hihihi sama ya sebenarnya ama bapak mertuaku :D

Anonymous said...

Sepertinya soal nama semua orang yg tinggal di luar ngalamin ya...tau sendiri nama di negara kita kan ngga musim bgt pake nama keluarga ato nama suami. aku jg ngalamin dan sempet tersendat krn namaku bukan nama suami. dan parahnya lg nama belakangku jg lain dg nama bapakku nah bingung kan...yah begtu dijelaskan mrk sedikit paham tapi blm bs menerima ada tradisi yg berbeda hihi...

kl soal kita pake jilbab danmemakai pkaian yg berbeda justru aku bangga mba...ada perasaan lain ajah dan mereka santai2 ajah kok malah seneng liat jilbab kita yg maching sm bajunya haha...

Ummu Aisyah said...

Menarik mba Sin,saya juga begitu ..banyak pertanyaan di keluarga suami. Tapi Ben sll bilang itu pilihan dia,terserah. Tapi merujuk dari hadist yah kita kan iktu bapak semisal Vera Delina binti Wilman. Tapi mmg tradisi di Indo nggak sll mencantumkan nama family.
Mungkin untuk Aisyah yang harus ikuti aturan itu : jadi ikut nama bapaknya.
Kalau istri,dalam tulisan yg saya baca tidak ahsan kiranya jadi mengganti nama setelah menikah,itu semua ada hanya karena culture.Sempat juga ada teman saya yang harus merubah seluruh dokumen karena merasa jadi prestise harus menyandang nama suami,ditambah lagi pas suami org bule..nah yg spt ini lebih ironis kan?

Mungkin bisa dilihat postingan Ve dulu pernah membahasnya.

Makasih udah sharing

happy weekend mba sin
salam sayang dari kami

Anonymous said...

Hehehh kalo tinggal diluar negri, nama emang bikin pusing....pernah jg posting yg kek gini...Mungkin nanti kalo punya anak, perlu pake nama keluarga kali ya, biar mempermudah urusan. Tapi kalo niatnya tinggal di Indonesia mah cuek aja, mo 5-6 kata juga okeh...

Muhammad Ilham said...

hola mbak sinta [sdh dipanggil dgn namanya kan] hehehe

salam,
ur bro [Muhammad Ilham]

MaIDeN said...

Kebiasaan yang saya pakai untuk urusan panggil memangil nama:
- Kalau orangnya masih muda saya panggil namanya
- Kalau orangnya dah punya anak, saya panggil dengan nama: mama/ibu/mami (tergantung dia dipanggil apa sama anaknya) + nama anak tertuanya
- Kalau itu diacara resmi protokoler sementara sang ibu akan tampil saya panggil dengan sebutan: ibu + nama suami
- Kalau ada suaminya saya panggil ibu + nama suami

Prinsipnya, sebutan bu/ibu + nama suami baru dilakukan hanya jika ketemu situasi kita merasa perlu menghormati sang istri sebagai perhiasannya sang suami

Bunda Faikar said...

wahh kalau di keluarga ku, nama belakang anak itu nama bapak..jadi walau sudah menikah tetep tidak bakal diganti jadi nama suami, tetep nama bapak, gitu juga sekarang anakku, nama belakangnya adalah nama bapaknya....gitu...

Mama Dilla said...

Sebenarnya ada kaidah memberi nama kepada anak secara Islami. Nama ayah/ bapak HARUS dilekatkan di belakang nama anak untuk tujuan pengenalan asal keluarga, bahwa si A adalah anak si B. Hal ini BUKAN TIDAK ADA MAKSUD dan TUJUANNYA. Kita tahu kan aturan siapa yang bisa dinikahi dan tidak. Nah, itu salah satunya! Mungkin keliatannya terlalu mengada-ada, tapi hal ini mungkin saja terjadi dan menimpa beberapa orang yang berpisah karena suatu hal, dan akhirnya bertemu lagi.

Justru di Indonesia ini memang udah kebablasen, kadang si anak dikasih rentetan nama untuk dirinya sendiri. Sebenernya saya juga GAK IKUT aturan ini sih, padahal setelah lahirnya anak ke-2 (Dilla), suami ngotot pengen ngasih nama belakangnya di belakang nama Dilla. Saya aja yang ngerasa kurang sreg waktu itu... Hehe...