Tuesday, September 19, 2006

Aoki's Country Villa in Nasu

Bila berjalan-jalan ke Tochigi prefecture bagian utara, ada salah satu tempat menarik yang sayang bila dilewatkan. Tempat itu adalah vila musim panas milik Shuzo Aoki yang terletak di desa Nasu. Selain vila, disekitarnya juga terdapat perkebunan sayur serta peternakan sapi yang juga dimiliki oleh Aoki. Penduduk setempat biasa menyebutnya ‘Aoki Tei’.

Shuzo Aoki (1844-1914) adalah salah satu diplomat terkenal pada masa pemerintahan kaisar Meiji. Selama karir diplomatnya, dia pernah menjabat sebagai duta besar Jepang untuk Jerman, setelah itu sebagai menteri luar negri. Nama aslinya adalah Genmei Miura. Namun sejak diadopsi oleh keluarga Aoki, namanya menjadi Shuzo Aoki.

Di akhir usia 20 tahun, Aoki melanjutkan sekolahnya ke Berlin, Jerman. Di Berlin pula ia bertemu dengan seorang putri bangsawan, Elizabeth von Rade. Mereka menikah di Bremen pada tanggal 20 April 1877. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Hana.

Aoki tei didirikan sebagai tempat peristirahatan musim panas pada tahun 1888. Sebuah vila dengan gaya arsitektur Jerman yang didisain oleh Tsumunaga Matsugasaki. Meskipun strukturnya seperti bangunan di Eropa, namun materialnya terdiri dari kayu-kayu. Mungkin ini disesuaikan dengan kondisi geologi Jepang yang sering dilanda gempa.

Aoki bersama istri dan anaknya sering menghabiskan masa liburannya di vila (Aoki tei) itu. Memasuki gerbang utama, di sebelah kiri dan kanan jalan masuk, berjejer pohon-pohon yang menjulang tinggi. Semakin mendekati tangga beranda, terhampar halaman rumput yang luas. Tidak terlalu banyak bangunan yang ada di sekitar tempat itu. Namun Aoki tei tampak sangat menyolok karena bangunannya yang luas, bertingkat dan gaya arsitekturnya yang berbeda dengan bangunan di Jepang pada umumnya.

Di dalam bangunan vila, selain foto-foto juga dipamerkan barang-barang koleksi pribadi. Mulai dari pakaian resmi kebesaran, furniture sampai kereta kuda kuno seperti yang biasa dinaiki para bangsawan Eropa jaman dulu.

Unik sekali. Berada di dalam Aoki tei, solah-olah waktu berputar ke masa lalu. Suasananya seperti film-film yang ber-setting tentang kehidupan di Eropa sebelum abad 20. Sayang sekali waktu berkunjung ke sana tidak membawa kamera sehingga tidak dapat mengabadikan barang-barang antik yang ada disana.

Sunday, September 17, 2006

This Autumn's Special Guest

Beberapa hari ini udara mulai terasa sejuk, disertai hembusan angin yang berbisik lembut. Daun-daun pohon mulai menguning, tampak berkilau disentuh cahaya matahari. Senja datang lebih cepat dan siangpun semakin pendek. Hmm... Musim gugur benar-benar sudah datang.

Di musim gugur ini, tamu istimewa juga akan datang. Tamu yang datang hanya sekali dalam setahun. Ialah Ramadhan, bulan yang penuh berkah dan ampunan. Dan juga bulan yang berfungsi sebagai masa training untuk menghadapi sebelas bulan lainnya.

Di tanah air, hampir di setiap tempat belakangan hari ini pasti telah banyak spanduk ataupun iklan yang memuat ucapan selamat datang juga ajakan banyak beramal di bulan Ramadhan. Begitu pula program tayangan televisi, sudah mulai dipenuhi nuansa Ramadhan. Beberapa pusat belanja biasanya juga ikut menyemarakkan dengan memberi diskon khusus. Nuansa Ramadhan terasa benar-benar mengisi setiap ruang.

InsyaAllah, tahun ini adalah Ramadhan ketiga yang saya lewati di negeri sakura. Berbeda dengan di tanah air, di sini tidak ada spanduk ataupun iklan yang menunjukkan tanda-tanda penyambutan bagi tamu istimewa. Begitu pula tayangan televisi, jauh sekali dari nuansa Ramadhan. Hanya penyambutan yang dilakukan secara individu (yang berkepentingan).

Bersyukur, Ramadhan tahun ini masih hadir dalam musim gugur. Malam lebih panjang daripada siang, sehingga banyak yang bisa dilakukan untuk menghidupkan malam di bulan Ramadhan. Suhu udara di siang haripun tidak ekstrim tinggi (seperti musim panas). Tak terbayang, bagaimana menghidupkan malam Ramadhan di musim panas. Saat malam lebih singkat dibanding siang? Saat fajar terbit mulai pukul 02.30-an dini hari dan senja datang pukul 07.00 malam??? “...
Maka, nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan?...”

Semoga masa training Ramadhan kali ini dapat dilewati dengan baik. Bahkan bisa lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Selamat menjalani ibadah shaum Ramadhan. Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan.....

Friday, September 08, 2006

Traditional Market

Kalo keluar dari gerbang stasiun Tennocho (karena stasiun kecil jadi gerbang keluar masuknya cuma satu), trus belok ke kiri dan jalan terus sampe mentog (ejaannya benar ga ya??) ntar bakalan ketemu pasar tradisional. Kalo jalannya sendirian trus sedang terburu-buru, pasti rasanya jauh banget jarak dari stasiun Tennocho ke pasar itu. Tapi kalo jalannya santai trus ada yang nemenin, jadi bisa sambil ngobrol tambah ketawa-ketiwi (kalo ada yang lucu), ga terasa jauh. *smile* Kira-kira 7 menit jalan kaki buat japanese (tua/muda jalannya sama aja) yang kuat dan sehat. Kalo buat saya, jadinya kira-kira 10 menitan. Tapi itu belum termasuk stop di lampu merah lho.... Kalo sama lampu merahnya, ntar dihitung waktu tempuhnya kalo pas ke sana lagi. *smile* Soalnya kalo ga salah ada 3 lampu merah.

Matsubara, nama pasar itu. Sebuah pasar tradisional yang sekilas mirip pasar Kranggan di jalan Diponegoro Yogya. Waktu masih di Yogya, saya cukup sering masuk pasar itu kalo pas hari libur. Kadang-kadang memang buat belanja, kadang cuma mau cari jajanan. Soalnya harga di Kranggan murah meriah, pas buat kantong anak kost.


Di Matsubara, harga-harga juga murah meriah. Jauh lebih murah daripada harga barang yang dijual di supa (baca : supermarket). Kalo untuk sayur dan buah-buahan, penjual sudah lebih dulu membungkus barangnya dengan plastik. Kita tinggal pilih, mau beli yang isinya banyak atau sedikit. Ikan dan sea food lainnya, masih ditaruh di besek tanpa tutup. Kalo memang kita jadi beli, baru ikannya dibungkus. Kalo daging-daging, waktu itu ga sempat merhatiin. Soalnya ga tertarik beli daging di pasar itu.

Belanja di Matsubara, langsung membayar sama penjualnya. Ga ada mesin kasir. Semua dihitung secara manual. Di bagian penjual ikan, lantainya juga becek. Benar-benar pasar tradisional kan?! Selama tinggal di negara kaisar Akihito ini, baru 2 pasar tradisional yang pernah saya masuki. Pertama, pasar Ameyoko di Ueno (Tokyo) lalu Matsubara.

Sayang, pasar begitu (maksudnya lengkap dan harga murah) belum saya temukan di Tsukuba.

Wednesday, September 06, 2006

How to Get to Tennocho Station?

Di tengah kebingungan memilih kereta Sotetsu line di stasiun Yokohama, tiba-tiba seorang japanese menyapa saya dan suami.
"Do you have any problems?"
"Ouw yes, we're going to Tennocho station. Which train should we choose to get there?"

"Hmm.... This train won't stop at that station, bcoz of rapid train." Ujarnya menunjuk kereta yang sedang parkir di depan kami.
"You should take the local one, over there!" Dia menunjukkan kereta yang dimaksud. Tetapi kami tetap masih bingung karena disana ada dua kereta yang sedang parkir. Rupanya dia bisa membaca kebingungan di wajah kami.
"Ok, I`ll show you. Follow me!"

Dia mengantarkan kami sampai di depan kereta yang dimaksud.
Setelah kami mengucapkan terima kasih, dia pun segera berlalu karena kereta yang hendak dia naiki akan segera berangkat.

Tidak banyak orang jepang yang mau menyapa orang asing yang baru dikenal. Biasanya mereka akan membantu bila kita yang lebih dulu meminta bantuan. Berbeda dengan orang itu. Entah siapa namanya, kami tidak sempat berkenalan. Di saat kami sedang kebingungan, dia datang menghampiri. Mungkin dia sudah lama memperhatikan kami sewaktu membolak-balik panduan rute kereta. Dia tidak hanya sekedar memberitahu kereta yang seharusnya kami pilih melainkan juga mengantarkan kami sampai di depan kereta yang dimaksud. Dia juga lancar berbahasa inggris sehingga kami menjadi lebih mengerti. Sungguh sangat berarti kebaikannya bagi kami.

Bayangkan bila kebingungan seperti kami itu terjadi di stasiun-stasiun di tanah air. Saya pasti sudah merasa curiga bila didekati orang yang tak dikenal. Selain itu juga berhati-hati dengan barang yang saya bawa dan berusaha selalu waspada terhadap segala bentuk gerak-gerik yang mencurigakan. Betapa susahnya mendapatkan keamanan di tempat umum meski di kampung halaman sendiri.

Friday, September 01, 2006

Karena Ingin Disayang

Siang itu aku sedang berjalan menuju halte bis pulang dari kantor pos. Keringat terasa membasahi tubuhku dan tenggorokan terasa kering. Pada musim panas, suhu udara di Tsukuba memang terasa lebih panas dibanding Jakarta. Kulirik jam di pergelangan tangan, masih ada waktu dua puluh menit untuk mengejar bis yang menuju ke asrama. Langkah kakiku semakin dipercepat, agar aku sampai lebih cepat di halte dan bisa melepas lelah sebentar.

Pfuuh…. Sampai juga, lumayan ada waktu beberapa menit untuk istirahat sebelum bis datang.” Pikirku, sambil menyeka keringat di wajah.
Cukup banyak juga orang yang sedang menunggu bis di halte itu. Kucoba mencari celah kosong pada bangku yang disediakan. Sayang sekali, semua terisi penuh. Apa boleh buat, terpaksa aku menunggu sambil berdiri.

Sekilas aku menangkap pandangan heran dari beberapa orang yang menunggu di sana. Mungkin penampilanku terlihat aneh di mata mereka. Tinggal di negara dengan mayoritas penduduk beragama non muslim, mendapati pandangan aneh atas penampilan bukanlah suatu hal yang baru. Sehingga hal seperti itu tak perlu dihiraukan.

Menunggu dalam suasana gerah begini membuatku teringat kembali dengan kejadian di kelas bahasa Jepang pada musim panas tahun lalu. Walaupun kelas dimulai pada pukul 10.30, tapi di musim panas keadaannya hampir sama dengan pukul 12.00 siang.

*****
Kyoo wa totem atsui desyo ne….” Kata sensei sambil membuka semua jendela lebar-lebar. Walaupun tersedia AC, namun tetap tidak bisa mendinginkan suhu panas saat itu. Agaknya AC itu sudah tua sehingga kurang berfungsi dengan baik.
So desu ne…” Semua menjawab hampir bersamaan.

Sensei kemudian menatapku, “dengan pakaian serba tertutup begitu, apa tidak kepanasan?” Beliau menyatakan keheranannya atas pakaianku.
“Yah, cukup panas. Tapi tidak apa-apa.”
Walaupun peserta kelas ini perempuan semua termasuk juga sensei, tapi hanya aku yang berpakaian muslim. Yang lainnya berpakaian sesuai dress code musim panas, berbahan tipis menyerap keringat dan serba terbuka di sana-sini. Mungkin itulah yang membuat sensei heran terhadapku.

“Bagaimana kalau penutup kepalanya dibuka saja? Lumayan bisa mengurangi rasa gerah.” Sensei memberi saran padaku.
“Maaf sensei, saya tidak bisa melakukan itu.” Jawabku sambil tersenyum agar beliau tidak tersinggung

“Di kelas ini dulu juga pernah ada peserta yang berasal dari timur tengah. Seorang perempuan muslim dan juga memakai penutup kepala.” Ujar sensei. “Namun kain penutup kepalanya hanya diikatkan pada leher, sehingga mudah dibuka dan dipasang kembali. Kalau di dalam kelas, penutup kepala itu dibuka karena semuanya perempuan. Menurut dia, bila di dalam ruangan hanya perempuan, boleh saja menampakkan rambut.”

Sensei kembali menatapku. Sepertinya beliau dan teman-teman di kelas menunggu tanggapanku tentang ceritanya tersebut. Aku tahu saran sensei itu mengandung maksud baik, agar aku dapat merasa nyaman dalam ruangan yang panas seperti itu. Suhu panas di dalam ruangan insyaAllah masih bisa kutahan dan aku sudah memilih pakaian yang bahannya menyerap keringat. Dan semua yang ada di dalam ruangan itu non muslim kecuali aku. Menanggapi dengan alasan seperti itu rasanya kurang mengena bagi sensei dan teman lainnya.

Akhirnya akupun menjawab, “penutup kepala saya hanya dibuka saat di rumah dan dihadapan keluarga saja.”

“Kalau di rumah ada tamu, berarti juga berpakaian seperti ini?” tanya sensei. Sayapun mengangguk tegas. Senseipun diam, lalu mengalihkan pembicaraan.

Seandainya sensei bertanya, kenapa? Aku akan menjawab, “saya ingin disayang Allah dengan mengikuti perintahnya.” Dan dengan pakaian ini insyaAllah kesucianku akan selalu terjaga.

“…. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu…….” (Al Ahzab : 59)
*****

Bis yang ditunggu telah datang. Akupun bergegas antri untuk memasukinya. Alhamdulillah, bis siang itu tidak terlalu penuh sehingga aku masih mendapat tempat duduk. Pintu mulai ditutup dan bis perlahan-lahan mulai bergerak meninggalkan halte itu.
Wallahua’alam bisshowab.


Publikasi di eramuslim