Wednesday, February 27, 2008

Makabe Hinamatsuri'08







Dah direncanakan sejak 2 minggu yang lalu, akhirnya tour ke Makabe Hinamatsuri bersama teman-teman Bunga Melati terealisasi juga.

Makabe terletak di kaki gunung Tsukuba, sebuah desa yang sudah cukup modern tapi masih tetap mempertahankan gaya tradisonalnya. Termasuk bangunan rumah penduduk yang masih bergaya seperti rumah-rumah di film Oshin. Masih ingat film Oshin kan??!

Sejak 3 Februari sampai 3 Maret, setiap tahun warga desa Makabe menghias bagian depan rumah/toko dengan boneka-boneka Hinasama (yang ada di foto). Boneka ini boleh dikatakan sebagai kekayaan keluarga yang diwariskan secara turun menurun. Tentu saja yang mendapat warisan ini anak perempuan.

Tradisi memajang boneka Hinasama sudah dimulai sejak Edo period (17 abad yang lalu) dan dilakukan di seluruh Jepang, terutama keluarga yang memiliki anak perempuan. Di desa Makabe, tradisi ini dijadikan salah satu program untuk menarik wisatawan.

Tradisi ini (menurut orang Jepang) dimaksudkan untuk mengharapkan kebaikan, kesejahteraan dan kebahagian bagi anak perempuan. Pokoknya harapan-harapan yang baik untuk anak perempuan. Sehingga di jepang setiap tanggal 3 Maret diperingati sebagai hari anak perempuan.

Foto-foto di atas memperlihatkan koleksi boneka Hinasama sejak periode Edo (tahun 1603-1868, 2 foto yang paling atas) sampai sekarang. Trus foto paling bawah, fotografer amatir yang lagi narcis.:P Douzo mite kudasai!

Wednesday, February 20, 2008

Ingin Pulang Ga Sih??

Kemarin ada silaturahmi plus pengajian plus perpisahan plus makan siang bersama muslimah Indonesia di Tsukuba. Banyak plus-nya ya?! Karena lazimnya masa selesai tugas (baik tugas study, riset atau kontrak kerja) adalah akhir Maret maka bulan Februari-Maret emang musimnya perpisahan.

Rasanya sudah berkali-kali saya ikut acara perpisahan. Mulai perpisahan untuk teman yang memang lebih duluan datang ke Tsukuba sampai teman yang datangnya baru aja 1 atau 2 tahun yang lalu. Kayaknya ga sopan deh, datang belakangan tapi pulang duluan. Hehehe.... Tapi memang ga bisa diurutkan, yang datang lebih dulu harus pulang lebih dulu. Masing-masing punya jadwal dan rencana sendiri yang tidak bergantung satu sama lain. Kalo memang sudah datang masanya untuk kembali ke tanah air, ya pulang lah.

Di sela-sela waktu santai, suami saya kadang sempat nyeletuk, "teman-teman datang dan pergi tapi kita tetap di sini aja ya?!" Setiap tahun melepas kepulangan teman-teman kembali ke tanah air. Kami seolah-olah memang jadi saksi kedatangan dan kepulangan teman-teman selama 4 tahun terakhir di Tsukuba. Pulang di sini maksudnya pulang selesai tugas, bukan pulang untuk berlibur atau sekedar mengunjungi keluarga.

Pernah ada yang menyatakan keheranannya, kok kami berdua kayaknya betah berlama-lama di Tsukuba. Apa ga ingin pulang? Ga kangen sama keluarga?

Kalo ditanyakan soal betah? Mungkin bisa dibilang betah karena kami sering ga sadar kalo udah cukup lama tinggal di sini. Empat tahun bukan waktu yang singkat kan?! Tapi kami merasa seolah baru kemarin rasanya perama kali menginjakkan kaki di negeri samurai, baru kemarin saya menelpon ibunda bahwa saya dah nyampe dengan selamat dan berkumpul lagi dengan suami. Baru kemarin juga rasanya cerita pada ibunda kalo saya punya teman baru, orang Jepang tapi bisa bahasa Indonesia.Ternyata kejadian itu sudah lama dan saya masih merasa seperti kemarin.

Mungkin karena selalu berusaha "feel like own home" dimana pun berada sehingga kami bisa enjoy. Kami menikmati episode hidup yang berjudul "Tinggal di Tsukuba" dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Beruntung juga saya dikasih Allah suami yang baik. Suami yang memberikan kebebasan beraktivitas pada saya, kebebasan bertanggung jawab dan tidak melanggar norma-norma. Apa aja yang bisa bikin saya betah, dia dukung sepenuhnya.

Kapan suami lulus trus pulang ke Indonesia? Ga kangen keluarga dan teman lama ya? Pertanyaan itu sudah sekian kali, mungkin ada satu triliyun karung (meminjam istilah Tukul Arwana, agak hiperbola dikit ga papa ya...) mampir di email ataupun terketik saat chatting, juga terdengar saat menelpon dengan sodara dan teman-teman di tanah air. Dan selalu saya jawab, mohon do'a-nya supaya semuanya berjalan lancar sehingga bisa cepat pulang dan cepat ketemu lagi. Cukup diplomatis ga jawabannya??

Tak dipungkiri, saya kangen banget sama ortu, adik-adik, keponakan semata wayang (yang baru sempat ketemu muka saat chatting via webcame), sodara dan juga teman-teman saya. Apalagi kalo pas saya telepon, keluarga besar saya sedang ngumpul. Rasanya ingin saat itu juga saya terbang ke tanah air untuk bergabung. Dan saya yakin suami pun merasakan hal yang sama. Tapi sementara ini kami masih ada tugas (yang berhubungan dengan rencana masa depan) yang harus diselesaikan di sini. Ga papa deh jauhan asalkan dekat di hati dan saling menguatkan.


Buat teman-teman yang mau pulang, makasih untuk persaudaraan, persahabatan, bantuan dan sharing ilmu selama di Tsukuba. Semoga kita dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih baik dari sekarang. Aamiin.

Wednesday, February 13, 2008

Serba Oplosan

Beberapa hari yang lalu sempat nonton berita sore di Transtv. Jangan salah ya, walaupun tinggal di Tsukuba tapi tetap bisa nonton siaran TV Indonesia. Itulah salah satu keuntungan teknologi informasi. Kembali ke berita sore lagi ya... Salah satu beritanya tentang "pengoplosan bumbu masak". Bumbu masak?? Yah, bumbu masak yang dah digiling halus seperti cabe dan teman-temannya, yang biasanya dijual di pasar-pasar tradisional. Selain cabe, bawang goreng juga tersedia dalam bentuk oplosan lho... Ga cuma bumbu giling yang dioplos.

Pengoplosan sekarang dah dilakukan secara terang-terangan. Alasan penjualnya melakukan itu karena harga bahan-bahan (termasuk bumbu) semakin hari semakin mahal. Sedangkan pembeli pengen harga yang murah. Kalo pembeli kayaknya emang sering cari yang murah, apalagi sebagian besar yang belanja bumbu kan ibu-ibu. Pasti cari yang murah. Lha wong ada yang murah, ngapain beli yang mahal?!:P

Sejauh bahan pengoplos (pencampur) masih aman untuk dikonsumsi, saya rasa tidak apa-apa. Tapi kalo bahan pengoplos yang digunakan tidak aman, ini bakalan jadi masalah.[-X Maksud hati pengen belanja murah tapi malah harus ngeluarin biaya pengobatan karena tubuh tidak bisa mentolerir bahan-bahan yang dimakan. Capee deh....!#:-S

Waktu sedang rame berita harga beras yang mahal, kabarnya pemerintah terpaksa mengijinkan pengoplosan beras oleh pedagang. Dari beras sampe bumbu, sekarang tersedia oplosannya. Sepertinya oplosan sekarang sedang menjadi trend di negara kita. Mungkin bahan yang benar-benar murni (tanpa campuran) lama kelamaan akan jadi barang langka.:-B

Tuesday, February 05, 2008

Karena Setiap Perempuan Cantik

Menjawab pertanyaan anak usia 5 tahun ternyata ga mudah ya?!#:-S Soalnya pengen memberikan jawaban yang bisa diterima logika anak seusia itu tapi tidak melenceng dari kebenaran yang sebenarnya. Kalo jawaban ngasal mungkin lebih mudah tapi efek sampingnya bisa menyesatkan.:-


Kejadiannya sewaktu saya maen ke rumah Ishikawa san (berhubungan dengan posting sebelumnya). Saya sempat numpang sholat di rumahnya terus anak semata wayang Ishikawa san (usia 5 tahun), Julia ikut sholat bersama saya. Selesai sholat dan berdo'a, terjadilah percakapan seperti berikut (dalam bahasa campur-campur, Jepang dan Indonesia karena Julia lebih lancar berbahasa Jepang) :D:


Julia : "Tante, kenapa sih perempuan kalo sholat harus pake mukena?"
Saya : "biar semuanya tertutup kecuali muka dan telapak tangan ga papa kalo kelihatan."
Julia : "mukena kan panjang, tangannya jadi tertutup trus tinggal muka aja yang kelihatan. Kenapa sih harus begitu?"
Saya : waduuh.... mesti jawab gimana nih???:-S Toloong.... Akhirnya dijawab, "karena setiap perempuan itu cantik... (masa ganteng?! =))) Dan Allah senang lihat mukanya aja. Bagian lain biarin tertutup."


Jawaban yang lebih tepat, karena menutup aurat kan salah satu syarat sah sholat. Tapi saya pikir, jawaban seperti itu belum kena dengan logika Julia. Ditambah lagi, dia tumbuh di lingkungan yang kurang kondusif untuk lebih mengenal Islam, karena sebagian besar orang Jepang tidak membawa nilai religius dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu ayahnya juga mualaf yang masih perlu banyak bimbingan. Pendidikan (agama) dari rumah, semua mengandalkan bimbingan ibunya.


Kalau boleh berandai-andai.... Seandainya mereka tinggal di Indonesia (atau negara mayoritas berpenduduk muslim), mungkin tidak terlalu sulit memberi penjelasan seperti itu. Selain dari rumah, dia bisa melihat sambil belajar dari lingkungannya. Betul-betul sebuah tantangan yang ga mudah buat keluarga Ishikawa. Mungkin disitu nilai jihadnya ya?!O:)


Bersyukur saya terlibat dalam percakapan dengan Julia, jadi bisa siap-siap kalo nanti pertanyaan seperti itu muncul dari anak-anak saya. Ada yang punya pengalaman seperti itu kah? Sharing yuuk.... biar saya bisa belajar.:D/