"Orang besar akan bertunas seperti pohon kurma."
Pernahkah mendengar kalimat bijak seperti itu? Memang itu bukan kalimat yang cukup populer. Tapi mari pahami filosofi hidup pohon kurma berikut ini.
Pohon kurma lazim dijumpai di Timur Tengah. Dengan kondisi tanah yang kering, gersang, tandus dan kerap dihantam badai gurun yang dahsyat, hanya pohon kurma yang bisa bertahan hidup. Tak berlebihan kalau pohon kurma dianggap pohon yang tahan banting.
Kekuatan pohon kurma ada di akar-akarnya. Petani di Timur Tengah menanam biji kurma ke dalam lubang pasir lalu ditutup dengan batu. Menagapa ditutup batu? Ternyata, batu tersebut memaksa pohon kurma untuk berjuang tumbuh ke atas. Justru karena pertumbuhan batang mengalami hambatan, membuat pertumbuhan akar ke dalam tanah menjadi maksimal. Setelah akarnya menjadi kuat, barulah biji pohon kurma itu bertumbuh ke atas, bahkan bisa menggulingkan batu yang menekan di atasnya.
"Ditekan dari atas agar bisa mengakar kuat ke bawah."
Bukankah itu prinsip kehidupan yang luar biasa?
Sekarang harusnya kita tahu mengapa Allah kerap kali mengijinkan tekanan hidup datang. Bukan untuk melemahkan dan menghancurkan kita, malah sebaliknya.
Allah mengijinkan tekanan hidup itu untuk membuat kita berakar makin kuat. Tak sekedar bertahan tapi ada waktunya benih yang sudah mengakar kuat itu akan menjebol "batu masalah" yang selama ini menekan kita. Hingga suatu saat nanti kita keluar menjadi pemenang kehidupan.
Allah mendesain kita seperti pohon kurma. Sebab itu jadilah tangguh, kuat dan tegar menghadapi beratnya kehidupan. Milikilah cara pandang positif bahwa tekanan hidup tak akan pernah bisa melemahkan, justru tekanan itu akan memunculkan kita menjadi pemenang-pemenang kehidupan.
Wallahu 'alam bishowab.
Sumber : group alumni Biogama'97
image by ontheroad2firdaus
Showing posts with label reflection. Show all posts
Showing posts with label reflection. Show all posts
Wednesday, October 15, 2014
Sunday, December 22, 2013
Saling Menyayangi
"Cinta orangtua pada anak itu otomatis... Tapi cinta anak kepada orangtua itu tidak otomatis.. Maka harus kita bangun...
Nggak pengen khan.. Ketika kita tua kemudian kita dibenci anak2 kita... Maunya khan kita disayang dan diperhatikan anak2 kita...
So, investasi kita adalah saat mereka kecil... Sayangi mereka dan mereka akan menyayangi kita saat kita tua nanti. Inshaa Allah.."
(Supriyati -*Forsilam edisi hari ibu*-)
Nggak pengen khan.. Ketika kita tua kemudian kita dibenci anak2 kita... Maunya khan kita disayang dan diperhatikan anak2 kita...
So, investasi kita adalah saat mereka kecil... Sayangi mereka dan mereka akan menyayangi kita saat kita tua nanti. Inshaa Allah.."
(Supriyati -*Forsilam edisi hari ibu*-)
Tuesday, April 30, 2013
Penyita Waktu
Lama vakum, baru sekarang sempat update blog ini lagi. Rasanya ada sembilan bulan blog ini tanpa update. Kalo diumpamakan wanita hamil, sembilan bulan itu sudah masanya melahirkan. Hehehe...just preface joke.
Mungkin sebagian ada yang bertanya-tanya, kenapa sih jarang banget update cerita belakangan ini? Kalo saya jawab sibuk, kurang tepat. Soalnya kalo dipaksakan, sebenarnya masih bisa disempatkan buat nulis kok. Apa karena ga ada ide buat tulisan? Waa...ga benar juga. Dengan ngobrol, berinteraksi dan membaca lingkungan sekitar, sebenarnya ada banyak cerita yang ingin saya bagi di blog ini.
Trus apa dong alasannya?
Karena belakangan ini, waktu luang saya cukup tersita dengan obrolan di group smartphone. Ada beberapa group yang saya ikuti. Group keluarga, tetangga, teman masa SMU, teman masa kuliah, teman seperjuangan waktu merantau di Jepang sampai group online shop. Banyak group seperti itu, terbayang kan bagaimana keramaian di smartphone saya?!
Walaupun bukan pengobrol aktif di setiap group, tapi bila muncul notifikasi di layar smartphone, saya jadi penasaran bila tidak membacanya. Terkadang saya hanya ikut menikmati obrolan sebagai partisipan pasif. Hanya berkomentar, 'o begitu ya..' Atau sekedar menyapa, mengucapkan salam ditambah menyebutkan aktivitas yang sedang dilakukan seperti, 'pagi temans, sarapan dulu yuuk...'
Tapi saat topik obrolannya menarik, saya semakin ingin tahu dan tak jarang berbagi info serta cerita juga. Saat seperti inilah yang bisa menyita waktu sehingga tidak sempat update blog.
Berbagi info ataupun cerita melalui group smartphone tentu saja berbeda dengan blog. Group smartphone itu sifatnya segmented dan sering kali ada keterikatan emosional di antara anggotanya. Sehingga tak jarang, obrolannya jadi ajang curhat. Bercerita lewat blog, sifatnya lebih umum dan terbuka (bila setting-nya bisa diakses semua orang), juga tidak selalu ada ikatan emosional antara penulis dan pembaca.
Jadi sekarang pilihannya, kita mau menulis, ngobrol ataupun bercerita itu ditujukan untuk siapa? Yang jelas, berbagi info dan ilmu itu penting, agar orang lain menjadi tahu dan mudah-mudahan bermanfat. Karena banyak memberi manfaat bagi orang lain adalah sifat yang mulia. Seperti semboyan yang sering ditulis orang, ' Hidup Mulia or Die as Syuhada'.
Mungkin sebagian ada yang bertanya-tanya, kenapa sih jarang banget update cerita belakangan ini? Kalo saya jawab sibuk, kurang tepat. Soalnya kalo dipaksakan, sebenarnya masih bisa disempatkan buat nulis kok. Apa karena ga ada ide buat tulisan? Waa...ga benar juga. Dengan ngobrol, berinteraksi dan membaca lingkungan sekitar, sebenarnya ada banyak cerita yang ingin saya bagi di blog ini.
Trus apa dong alasannya?
Karena belakangan ini, waktu luang saya cukup tersita dengan obrolan di group smartphone. Ada beberapa group yang saya ikuti. Group keluarga, tetangga, teman masa SMU, teman masa kuliah, teman seperjuangan waktu merantau di Jepang sampai group online shop. Banyak group seperti itu, terbayang kan bagaimana keramaian di smartphone saya?!
Walaupun bukan pengobrol aktif di setiap group, tapi bila muncul notifikasi di layar smartphone, saya jadi penasaran bila tidak membacanya. Terkadang saya hanya ikut menikmati obrolan sebagai partisipan pasif. Hanya berkomentar, 'o begitu ya..' Atau sekedar menyapa, mengucapkan salam ditambah menyebutkan aktivitas yang sedang dilakukan seperti, 'pagi temans, sarapan dulu yuuk...'
Tapi saat topik obrolannya menarik, saya semakin ingin tahu dan tak jarang berbagi info serta cerita juga. Saat seperti inilah yang bisa menyita waktu sehingga tidak sempat update blog.
Berbagi info ataupun cerita melalui group smartphone tentu saja berbeda dengan blog. Group smartphone itu sifatnya segmented dan sering kali ada keterikatan emosional di antara anggotanya. Sehingga tak jarang, obrolannya jadi ajang curhat. Bercerita lewat blog, sifatnya lebih umum dan terbuka (bila setting-nya bisa diakses semua orang), juga tidak selalu ada ikatan emosional antara penulis dan pembaca.
Jadi sekarang pilihannya, kita mau menulis, ngobrol ataupun bercerita itu ditujukan untuk siapa? Yang jelas, berbagi info dan ilmu itu penting, agar orang lain menjadi tahu dan mudah-mudahan bermanfat. Karena banyak memberi manfaat bagi orang lain adalah sifat yang mulia. Seperti semboyan yang sering ditulis orang, ' Hidup Mulia or Die as Syuhada'.
Labels:
News respond,
reflection,
you should know
Monday, July 30, 2012
Urip iki nggolek opo tho?
Maaf ya, judulnya pake bahasa jawa. Judul itu artinya, 'hidup ini mencari apa sih?'.
Ini sebenarnya tulisan curhat berkaitan dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Sudah curhat juga sih dengan orang terdekat, disarankan untuk jangan terlalu mikirin omongan orang, ikhlas dan sabar aja. Tapi kok rasanya masih pengen ditulis, biar lebih plong dan sebagai pelajaran buat masa yang akan datang.
Saya dan beberapa teman di lingkungan RT di komplek tempat tinggal saya, diamanahi sebagai panitia penyedia konsumsi takjil di masjid komplek. Dalam satu minggu (7 hari) ada dua RT yang bertugas menyediakan takjil kurang lebih 60 porsi. Untuk memudahkan, RT saya dan RT satunya berbagi hari. Alhamdulillah kami kebagian pada 3 hari pertama Ramadhan, lalu pada hari ketujuh kita kerjakan bersama.
Untuk takjil-nya, kami sepakat untuk pesan saja karena masing-masing punya kesibukan sehingga tidak sempat untuk membuat sendiri. Hari pertama berjalan lancar. Hari kedua, mulai ada kritik dari beberapa teman yang ikut berbuka di masjid karena ada kue yang rasanya tidak enak (hampir basi). Begitu pula pada hari ketiga. Sampai ada yang bisik-bisik sambil melirik saya, "daripada pesan makanan tapi rasanya ga jelas begini mending bikin sendiri aja." Memang, mereka cukup tahu bahwa saya (dibandingkan dengan tetangga yang lain) sering dan bisa membuat kue. Terutama untuk acara-acara yang bertempat di rumah saya, seringnya kue yang disediakan adalah bikinan sendiri.
Bisik-bisik itu akhirnya sampai ke ibu RT. Kebetulan saya lagi merencanakan tugas untuk hari ketujuh. Pada hari ketujuh, Rt kami menyediakan kuenya dan RT yang satu menyediakan minumnya. Pada saat itu ibu RT bilang, sekarang agak susah pesan kue basah soalnya kebanyakan pembuat/toko kue sedang konsentrasi pada pesanan kue kering. Jadinya tukang kue basah kebanyakan pesanan, nah ini kadang yang bikin kuenya hampir basi saat sampai ke pemesan. Karena kue basah memang tidak tahan lama.Akhirnya saya menyanggupi untuk membuat kue/takjil hari ketujuh itu. Teknis dan detilnya saya atur sendiri.
Niat saya hanyalah membantu, agar kue yang disediakan dalam kondisi fresh. Khusus event ini, saya tidak mencari keuntungan hanya minta diganti bahan-bahan dan pack aja. Karena saya bukan penerima order kue yang profesional, jadi stok bahan kue yang ada di rumah ga banyak.
Saat saya sedang sibuk-sibuknya menyiapkan kue tersebut, kebetulan ada tetangga yang mampir. Mampirnya sih sebentar tapi omongannya membekas cukup lama di hati saya. Omongannya kira-kira begini, "wah lagi sibuk ngerjain borongan kue ya?! Kuenya dihargai berapaan? Pintar nih nyari kesempatannya. Coba dari hari pertama ambil borongannya, kan lumayan tuh untungnya."
Astaghfirullah hal adzim. Saya tidak menyangka akan dapat omongan seperti itu. Entah kenapa, saya agak sensitif mendengarnya. Ternyata masih ada orang di sekitar saya yang berorientasi pada materi terhadap apa-apa yang dikerjakannya.
Sebenarnya apa sih yang kita cari dalam hidup? Materi? Ya, bisa jadi salah satunya. Tapi menurut saya, itu hanya seper-berapa saja. Banyak hal lain yang tak kalah penting dan perlu dicari. Seperti kebahagian bisa berbagi ataupun bershodaqoh dengan tenaga dan kemampuan yang kita miliki.
Kata suami saya, orang lain ga perlu tahu apa niat kita. Yang penting kamu dah mengerjakannya dengan senang hati. Allah maha tahu apa yang ada di dalam hati setiap kita.
Ini sebenarnya tulisan curhat berkaitan dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Sudah curhat juga sih dengan orang terdekat, disarankan untuk jangan terlalu mikirin omongan orang, ikhlas dan sabar aja. Tapi kok rasanya masih pengen ditulis, biar lebih plong dan sebagai pelajaran buat masa yang akan datang.
Saya dan beberapa teman di lingkungan RT di komplek tempat tinggal saya, diamanahi sebagai panitia penyedia konsumsi takjil di masjid komplek. Dalam satu minggu (7 hari) ada dua RT yang bertugas menyediakan takjil kurang lebih 60 porsi. Untuk memudahkan, RT saya dan RT satunya berbagi hari. Alhamdulillah kami kebagian pada 3 hari pertama Ramadhan, lalu pada hari ketujuh kita kerjakan bersama.
Untuk takjil-nya, kami sepakat untuk pesan saja karena masing-masing punya kesibukan sehingga tidak sempat untuk membuat sendiri. Hari pertama berjalan lancar. Hari kedua, mulai ada kritik dari beberapa teman yang ikut berbuka di masjid karena ada kue yang rasanya tidak enak (hampir basi). Begitu pula pada hari ketiga. Sampai ada yang bisik-bisik sambil melirik saya, "daripada pesan makanan tapi rasanya ga jelas begini mending bikin sendiri aja." Memang, mereka cukup tahu bahwa saya (dibandingkan dengan tetangga yang lain) sering dan bisa membuat kue. Terutama untuk acara-acara yang bertempat di rumah saya, seringnya kue yang disediakan adalah bikinan sendiri.
Bisik-bisik itu akhirnya sampai ke ibu RT. Kebetulan saya lagi merencanakan tugas untuk hari ketujuh. Pada hari ketujuh, Rt kami menyediakan kuenya dan RT yang satu menyediakan minumnya. Pada saat itu ibu RT bilang, sekarang agak susah pesan kue basah soalnya kebanyakan pembuat/toko kue sedang konsentrasi pada pesanan kue kering. Jadinya tukang kue basah kebanyakan pesanan, nah ini kadang yang bikin kuenya hampir basi saat sampai ke pemesan. Karena kue basah memang tidak tahan lama.Akhirnya saya menyanggupi untuk membuat kue/takjil hari ketujuh itu. Teknis dan detilnya saya atur sendiri.
Niat saya hanyalah membantu, agar kue yang disediakan dalam kondisi fresh. Khusus event ini, saya tidak mencari keuntungan hanya minta diganti bahan-bahan dan pack aja. Karena saya bukan penerima order kue yang profesional, jadi stok bahan kue yang ada di rumah ga banyak.
Saat saya sedang sibuk-sibuknya menyiapkan kue tersebut, kebetulan ada tetangga yang mampir. Mampirnya sih sebentar tapi omongannya membekas cukup lama di hati saya. Omongannya kira-kira begini, "wah lagi sibuk ngerjain borongan kue ya?! Kuenya dihargai berapaan? Pintar nih nyari kesempatannya. Coba dari hari pertama ambil borongannya, kan lumayan tuh untungnya."
Astaghfirullah hal adzim. Saya tidak menyangka akan dapat omongan seperti itu. Entah kenapa, saya agak sensitif mendengarnya. Ternyata masih ada orang di sekitar saya yang berorientasi pada materi terhadap apa-apa yang dikerjakannya.
Sebenarnya apa sih yang kita cari dalam hidup? Materi? Ya, bisa jadi salah satunya. Tapi menurut saya, itu hanya seper-berapa saja. Banyak hal lain yang tak kalah penting dan perlu dicari. Seperti kebahagian bisa berbagi ataupun bershodaqoh dengan tenaga dan kemampuan yang kita miliki.
Kata suami saya, orang lain ga perlu tahu apa niat kita. Yang penting kamu dah mengerjakannya dengan senang hati. Allah maha tahu apa yang ada di dalam hati setiap kita.
Sunday, May 20, 2012
Bukan Wanita Biasa
Sore, kira-kira pukul 16.30 WIB.
Setelah dering ketiga, aku mendengar sahutan di seberang telepon.
"Halo mbak, aku dan suami sedang di jalan tapi agak macet nih... Mbak masih di rumah sakit?"
"Iya masih, tapi sudah diijinkan pulang sore ini. Baru aja selesai ngurus administrasi."
"Oo... gitu. Jadi baiknya aku kemana nih? Apa aku langsung ke rumah aja?"
"Boleh ga ke rumah sakit dulu? Aku minta tolong antarin pulang, soalnya ga ada yang jemput dan masih bingung mau pulang naik apa?"
"Oh iya, iya. Aku ke rumah sakit dulu deh, tunggu ya."
Klik, call ended.
Kamar rawat inap.
"Assalamu'alaikum... Wah, udah diberesin nih barang-barangnya, ya?! Gimana kondisinya? Selamat ya mbak."
"Wa'alaikum salam. Iya, makasih. Tinggal nunggu obat dari dokter."
Kulihat box disamping tempat tidurnya.
"Wuaa...mirip siapa nih? Kayaknya mirip kakak sulungnya ya?! Dedeknya sehat kan?!"
Sang ibu yang duduk di atas tempat tidurnya tersenyum memandang bayinya.
"Alhamdulillah sehat tapi setelah diperiksa dokter pagi tadi, bayinya ada alergi. Oh iya, kenalin ini teteh, tetangga di depan rumah."
Seorang wanita yang sejak tadi mebereskan barang-barang di kamar itu tersenyum padaku.
"Teteh ini yang kemarin nemanin ke rumah sakit dan nungguin selama persalinan."
"Makasih banyak bantuannya teh." Sambil ku sambut uluran tanggannya.
Bayi mungil itu masih terlelap di dalam box tanpa terganggu obrolan orang dewasa di sekitarnya. Tak lama kemudian, seorang perawat datang. Dia menyerahkan obat dan menjelaskan pemakaiannya. Serta tak lupa mengingatkan jadwal periksa ibu dan bayi selanjutnya. Setelah itu kami semua keluar menuju parkiran mobil, membawa bayi mungil itu pulang untuk bertemu kakak-kakaknya.
"Anak-anak siapa yang nemanin di rumah mbak?"
"Sama tantenya."
Tiga bocah lelaki menghambur ke pelukan ibunya ketika kami sampai di rumah. Bocah-bocah itu saling berebut ingin mencium adik bayinya yang baru lahir. Ternyata, bocah-bocah itu tidak diijinkan membesuk ke rumah sakit karena dua orang di antaranya sedang kurang sehat. Aku hanya bisa memandangi mereka. Bocah-bocah itu berceloteh dengan riang pada sang ibu kejadian di rumah selama ibunya di rumah sakit.
Aku melihat, bibir sang ibu tersenyum mendengar cerita putra-putranya tapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Mata itu letih dan sedih. Sesekali dia mengelus kepala bayi dalam dekapannya. Bayi itu putra keempatnya yang tidak sempat dilihat ayahnya. Yah, suaminya telah dipanggil yang maha kuasa saat sedang bertugas, meninggalkan dia bersama tiga orang anak lelaki dan janin berusia empat bulan di dalam kandungan. Dan almarhum suaminya adalah teman baik suamiku saat sama-sama kuliah di Bandung.
Tanpa disadari, mataku mulai berkaca-kaca. Aku memanjatkan do'a di dalam hati, semoga Allah senantiasa memberikan wanita ini kekuatan dan kesabaran untuk menjaga, membesarkan dan mendidik keempat anak yatim itu. Dia pasti bukan wanita biasa. Allah maha tahu akan kemampuannya.
Setelah dering ketiga, aku mendengar sahutan di seberang telepon.
"Halo mbak, aku dan suami sedang di jalan tapi agak macet nih... Mbak masih di rumah sakit?"
"Iya masih, tapi sudah diijinkan pulang sore ini. Baru aja selesai ngurus administrasi."
"Oo... gitu. Jadi baiknya aku kemana nih? Apa aku langsung ke rumah aja?"
"Boleh ga ke rumah sakit dulu? Aku minta tolong antarin pulang, soalnya ga ada yang jemput dan masih bingung mau pulang naik apa?"
"Oh iya, iya. Aku ke rumah sakit dulu deh, tunggu ya."
Klik, call ended.
Kamar rawat inap.
"Assalamu'alaikum... Wah, udah diberesin nih barang-barangnya, ya?! Gimana kondisinya? Selamat ya mbak."
"Wa'alaikum salam. Iya, makasih. Tinggal nunggu obat dari dokter."
Kulihat box disamping tempat tidurnya.
"Wuaa...mirip siapa nih? Kayaknya mirip kakak sulungnya ya?! Dedeknya sehat kan?!"
Sang ibu yang duduk di atas tempat tidurnya tersenyum memandang bayinya.
"Alhamdulillah sehat tapi setelah diperiksa dokter pagi tadi, bayinya ada alergi. Oh iya, kenalin ini teteh, tetangga di depan rumah."
Seorang wanita yang sejak tadi mebereskan barang-barang di kamar itu tersenyum padaku.
"Teteh ini yang kemarin nemanin ke rumah sakit dan nungguin selama persalinan."
"Makasih banyak bantuannya teh." Sambil ku sambut uluran tanggannya.
Bayi mungil itu masih terlelap di dalam box tanpa terganggu obrolan orang dewasa di sekitarnya. Tak lama kemudian, seorang perawat datang. Dia menyerahkan obat dan menjelaskan pemakaiannya. Serta tak lupa mengingatkan jadwal periksa ibu dan bayi selanjutnya. Setelah itu kami semua keluar menuju parkiran mobil, membawa bayi mungil itu pulang untuk bertemu kakak-kakaknya.
"Anak-anak siapa yang nemanin di rumah mbak?"
"Sama tantenya."
Tiga bocah lelaki menghambur ke pelukan ibunya ketika kami sampai di rumah. Bocah-bocah itu saling berebut ingin mencium adik bayinya yang baru lahir. Ternyata, bocah-bocah itu tidak diijinkan membesuk ke rumah sakit karena dua orang di antaranya sedang kurang sehat. Aku hanya bisa memandangi mereka. Bocah-bocah itu berceloteh dengan riang pada sang ibu kejadian di rumah selama ibunya di rumah sakit.
Aku melihat, bibir sang ibu tersenyum mendengar cerita putra-putranya tapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Mata itu letih dan sedih. Sesekali dia mengelus kepala bayi dalam dekapannya. Bayi itu putra keempatnya yang tidak sempat dilihat ayahnya. Yah, suaminya telah dipanggil yang maha kuasa saat sedang bertugas, meninggalkan dia bersama tiga orang anak lelaki dan janin berusia empat bulan di dalam kandungan. Dan almarhum suaminya adalah teman baik suamiku saat sama-sama kuliah di Bandung.
Tanpa disadari, mataku mulai berkaca-kaca. Aku memanjatkan do'a di dalam hati, semoga Allah senantiasa memberikan wanita ini kekuatan dan kesabaran untuk menjaga, membesarkan dan mendidik keempat anak yatim itu. Dia pasti bukan wanita biasa. Allah maha tahu akan kemampuannya.
Friday, January 06, 2012
Matematika Pergantian Tahun
Akhirnya tahun 2011 berlalu, welcome 2012!
Pergantian tahun ada hubungannya dengan matematika. Tidak perlu mikir rumus matematika yang sulit-sulit, cukup yang sederhana saja yaitu tambah (+), kurang(-), kali(x) dan bagi(:).
Pergantian tahun tentu saja menambah nominal tahun tersebut. Misalkan tahun 2010 bertambah jadi 2011, 2012 dan seterusnya. Dan ini berhungan dengan pertambahan umur kita.
Tetapi disamping bertambah, ada juga yang berkurang. Apa sih yang berkurang? Tentu saja umur bumi dan juga masa tinggal kita di dunia semakin berkurang. Dengan kata lain, jarak menuju akhir kehidupan sudah semakin mendekat. Ibarat perlombaan, kita semakin dekat dengan garis finish
Setelah tambah dan kurang, sekarang kali. Semakin dekatnya jarak kita menuju akhir, bukan berarti tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan potensi dan waktu yang ada dengan sebaik mungkin sehingga menghasilkan pahala berkali-kali lipat untuk bekal setelah finish.
Selain itu banyaklah berbagi kepada sesama. Baik itu berbagi harta, ilmu atau apapun yang memberi manfaat untuk saudara dan orang lain serta lingkungan di sekitar kita. Banyak berbagi kita akan menjadi manusia yang lebih baik karena sebaik-baik manusia adalah yang memberi banyak manfaat untuk orang lain.
Semoga bermanfaat.
Inspired by : sesion muhasabah pada liburan keluarga @ Cibodas.
Pergantian tahun ada hubungannya dengan matematika. Tidak perlu mikir rumus matematika yang sulit-sulit, cukup yang sederhana saja yaitu tambah (+), kurang(-), kali(x) dan bagi(:).
Pergantian tahun tentu saja menambah nominal tahun tersebut. Misalkan tahun 2010 bertambah jadi 2011, 2012 dan seterusnya. Dan ini berhungan dengan pertambahan umur kita.
Tetapi disamping bertambah, ada juga yang berkurang. Apa sih yang berkurang? Tentu saja umur bumi dan juga masa tinggal kita di dunia semakin berkurang. Dengan kata lain, jarak menuju akhir kehidupan sudah semakin mendekat. Ibarat perlombaan, kita semakin dekat dengan garis finish
Setelah tambah dan kurang, sekarang kali. Semakin dekatnya jarak kita menuju akhir, bukan berarti tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan potensi dan waktu yang ada dengan sebaik mungkin sehingga menghasilkan pahala berkali-kali lipat untuk bekal setelah finish.
Selain itu banyaklah berbagi kepada sesama. Baik itu berbagi harta, ilmu atau apapun yang memberi manfaat untuk saudara dan orang lain serta lingkungan di sekitar kita. Banyak berbagi kita akan menjadi manusia yang lebih baik karena sebaik-baik manusia adalah yang memberi banyak manfaat untuk orang lain.
Semoga bermanfaat.
Inspired by : sesion muhasabah pada liburan keluarga @ Cibodas.
Sunday, September 18, 2011
P a s s p o r t
Dapat tulisan bagus dari milis tetangga, banyak nilai berharga yang penting buat diketahui dan diamalkan. Enjoy it!
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?;
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali - Guru Besar Universitas Indonesia
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?;
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali - Guru Besar Universitas Indonesia
Tuesday, February 01, 2011
Setahun Kemarin
Tanpa terasa bulan Januari sudah berlalu. Janus (dewa dalam mitologi Romawi) yang wajahnya menghadap ke depan dan belakang pada saat bersamaan, perlahan sudah mulai menjauh. February is coming. Bulan cinta dan kasih sayang bagi sebagian orang.
Masih jelas dalam ingatan saya, Februari tahun lalu, bulan yang sangat sibuk menjelang kepulangan ke tanah air. Banyak urusan yang harus diselesaikan dengan baik sebelum meninggalkan bumi sakura. Mulai dari administrasi kependudukan, konfirmasi jadwal kedatangan dengan keluarga dan termasuk minta dicarikan tempat tinggal yang layak saat kami kembali ke Cibinong, hingga mengosongkan barang-barang dari kamar asrama tempat kami tinggal. Di antara semua urusan tersebut, mengosongkan kamar adalah kesibukan yang sangat menyita waktu dan tenaga.
Tak ada malam yang kami lewatkan tanpa menyortir dan mengepak, karena siang hari saya dan suami membereskan aktivitas di luar. Sebagian barang akan kami kirim ke Indonesia. Sebagian lagi akan ditinggalkan saja. Barang yang ditinggalkan, dipilah lagi karena ada beberapa teman yang membutuhkannya dan sebagian yang lain akan kami buang. Pada waktu itu, ingin rasanya menjadi magician yang bisa menyulap segala sesuatu sesuai keinginan dalam waktu singkat. Membereskan semuanya dalam satu malam. Tapi jelas itu satu hal yang mustahil mengingat kami juga perlu beristirahat. Apalagi saat itu masih musim dingin, kelelahan fisik yang berlarut-larut bisa menurunkan kesehatan tubuh. Seperti cerita Cinderella, akhirnya kami membatasi kerja ini hingga jam 12 malam. Begitu kedua jarum jam bersatu pada angka 12, aktivitas penyortiran dan pengepakan harus berhenti untuk selanjutnya berangkat tidur.
Sejak awal menginjakkan kaki di Jepang, kami menyadari bahwa negeri itu adalah tempat persinggahan sementara. Bagi kami, hidup yang lebih lama akan dijalani di tanah air. Bukannya tidak senang hidup di negeri maju dan sejahtera seperti di Jepang tetapi kami juga punya keinginan untuk membahagiakan orang-orang tercinta yang begitu berharap untuk bisa berkumpul bersama kami.
Sekarang kami mulai menata hidup sedikit demi sedikit. Memang tidak semudah hidup di Jepang karena di tanah air banyak perbedaan signifikan yang harus kami hadapi. Tantangan. Tapi melihat sinar-sinar penuh cinta dan bahagia dari mata yang sudah termakan usia, kami seakan mendapat tambahan energi kehidupan. Berbahagialah bagi mereka yang masih bisa berkumpul dengan orang-orang tercinta, sebelum yang tua pergi atau yang muda mendahului tanpa bisa kembali.
Masih jelas dalam ingatan saya, Februari tahun lalu, bulan yang sangat sibuk menjelang kepulangan ke tanah air. Banyak urusan yang harus diselesaikan dengan baik sebelum meninggalkan bumi sakura. Mulai dari administrasi kependudukan, konfirmasi jadwal kedatangan dengan keluarga dan termasuk minta dicarikan tempat tinggal yang layak saat kami kembali ke Cibinong, hingga mengosongkan barang-barang dari kamar asrama tempat kami tinggal. Di antara semua urusan tersebut, mengosongkan kamar adalah kesibukan yang sangat menyita waktu dan tenaga.
Tak ada malam yang kami lewatkan tanpa menyortir dan mengepak, karena siang hari saya dan suami membereskan aktivitas di luar. Sebagian barang akan kami kirim ke Indonesia. Sebagian lagi akan ditinggalkan saja. Barang yang ditinggalkan, dipilah lagi karena ada beberapa teman yang membutuhkannya dan sebagian yang lain akan kami buang. Pada waktu itu, ingin rasanya menjadi magician yang bisa menyulap segala sesuatu sesuai keinginan dalam waktu singkat. Membereskan semuanya dalam satu malam. Tapi jelas itu satu hal yang mustahil mengingat kami juga perlu beristirahat. Apalagi saat itu masih musim dingin, kelelahan fisik yang berlarut-larut bisa menurunkan kesehatan tubuh. Seperti cerita Cinderella, akhirnya kami membatasi kerja ini hingga jam 12 malam. Begitu kedua jarum jam bersatu pada angka 12, aktivitas penyortiran dan pengepakan harus berhenti untuk selanjutnya berangkat tidur.
Sejak awal menginjakkan kaki di Jepang, kami menyadari bahwa negeri itu adalah tempat persinggahan sementara. Bagi kami, hidup yang lebih lama akan dijalani di tanah air. Bukannya tidak senang hidup di negeri maju dan sejahtera seperti di Jepang tetapi kami juga punya keinginan untuk membahagiakan orang-orang tercinta yang begitu berharap untuk bisa berkumpul bersama kami.
Sekarang kami mulai menata hidup sedikit demi sedikit. Memang tidak semudah hidup di Jepang karena di tanah air banyak perbedaan signifikan yang harus kami hadapi. Tantangan. Tapi melihat sinar-sinar penuh cinta dan bahagia dari mata yang sudah termakan usia, kami seakan mendapat tambahan energi kehidupan. Berbahagialah bagi mereka yang masih bisa berkumpul dengan orang-orang tercinta, sebelum yang tua pergi atau yang muda mendahului tanpa bisa kembali.
Friday, December 31, 2010
Akhir Tahun
Beberapa jam lagi, tahun 2010 akan segera berakhir. Berbagai peristiwa terjadi setahun ini. Ada yang senang membahagiakan, lucu penuh canda, ada pula kegagalan serta sedih yang memaksa air mata jatuh. Masa yang telah lewat tak akan kembali. Kegagalan dan kekecewaan ga perlu disesali. Begitulah hidup, penuh dinamika yang kadang tak terduga.
Bagi sebagian orang, pergantian tahun adalah moment yang penting untuk dirayakan. Lihat saja, berbagai penawaran selebrasi di restoran, hotel serta beberapa tempat umum. Mereka berlomba memberi penawaran semenarik mungkin. Sebagian besar perayaan itu berupa pesta sejak sore hingga lewat tengah malam. Melihat fenomena tersebut membuat saya berpikir, sebenarnya untuk apa itu semua?
Saya dan suami termasuk orang yang tidak terlalu menganggap penting perayaan pergantian tahun. Bagi kami, tak perlu acara spesial saat pergantian tahun, dilewati biasa saja seperti malam-malam yang lain. Hanya saja dalam obrolan ringan menjelang akhir tahun, sering tercetus target dan harapan yang ingin kami raih di waktu mendatang. Saya kira hal itu wajar, setiap orang ingin lebih baik, lebih maju kan?!
Kilas balik pada saat kami masih menghirup udara negeri sakura, pergantian tahun juga kami lewati di rumah. Bagi orang jepang, tahun baru adalah hari sepesial, waktunya berkumpul dengan keluarga besar layaknya hari raya. Perkantoran dan sekolah libur. Banyak toko/supermarket yang tutup. Selain itu transportasi umum sedikit yang beroperasi. Akhir tahun biasanya saya belanja makanan lebih banyak daripada biasanya. Memastikan stok logistic cukup karena pergantian tahun bersamaan dengan musim dingin yang bawaannya cepat lapar.
Tak jauh beda dengan di tanah air, beberapa hari ini saya juga mempersiapkan stok logistik lebih. Bukan karena khawatir banyak toko/pedagang yang tutup tapi lebih dikarenakan arus lalu lintas yang 'ga nyaman'. Saat pergantian tahun, kemacetan panjang bisa terjadi dimana-mana. Butuh waktu lama hanya untuk menuju jarak yang sebenarnya pendek. Makanya kalau tidak emergency, sebaiknya ga keluar rumah.
WELCOME 2011
Bagi sebagian orang, pergantian tahun adalah moment yang penting untuk dirayakan. Lihat saja, berbagai penawaran selebrasi di restoran, hotel serta beberapa tempat umum. Mereka berlomba memberi penawaran semenarik mungkin. Sebagian besar perayaan itu berupa pesta sejak sore hingga lewat tengah malam. Melihat fenomena tersebut membuat saya berpikir, sebenarnya untuk apa itu semua?
Saya dan suami termasuk orang yang tidak terlalu menganggap penting perayaan pergantian tahun. Bagi kami, tak perlu acara spesial saat pergantian tahun, dilewati biasa saja seperti malam-malam yang lain. Hanya saja dalam obrolan ringan menjelang akhir tahun, sering tercetus target dan harapan yang ingin kami raih di waktu mendatang. Saya kira hal itu wajar, setiap orang ingin lebih baik, lebih maju kan?!
Kilas balik pada saat kami masih menghirup udara negeri sakura, pergantian tahun juga kami lewati di rumah. Bagi orang jepang, tahun baru adalah hari sepesial, waktunya berkumpul dengan keluarga besar layaknya hari raya. Perkantoran dan sekolah libur. Banyak toko/supermarket yang tutup. Selain itu transportasi umum sedikit yang beroperasi. Akhir tahun biasanya saya belanja makanan lebih banyak daripada biasanya. Memastikan stok logistic cukup karena pergantian tahun bersamaan dengan musim dingin yang bawaannya cepat lapar.
Tak jauh beda dengan di tanah air, beberapa hari ini saya juga mempersiapkan stok logistik lebih. Bukan karena khawatir banyak toko/pedagang yang tutup tapi lebih dikarenakan arus lalu lintas yang 'ga nyaman'. Saat pergantian tahun, kemacetan panjang bisa terjadi dimana-mana. Butuh waktu lama hanya untuk menuju jarak yang sebenarnya pendek. Makanya kalau tidak emergency, sebaiknya ga keluar rumah.
WELCOME 2011
Tuesday, August 24, 2010
Berpuasa di negeri sendiri
Kalo di Jepang, saat Ramadhan ataupun bukan, terasa tidak ada bedanya bagi saya. Ritme kerja tidak berbeda. Counter makanan ataupun restoran sama sibuknya saat siang ataupun malam hari. Orang-orang yang menikmati santap siang di tempat umum juga ga ada sepinya. Smoking corner juga tetap disinggahi para perokok. Tidak terdengar teriakan imsak ketika terbit fajar. Tidak ada juga ucapan selamat berbuka dari media televisi setempat. Yah, karena yang merasakan Ramadhan hanya umat muslim yang sedang singgah ataupun memang menetap di sana.Golongan minoritas yang mencoba tetap eksis di tengah masyarakat sekuler.
Sekarang saya merasakan lagi indahnya Ramadhan di tanah air. Jam biologis saya seakan diatur kembali. Satu jam sebelum imsak, tubuh seakan ada yang membangunkan dari tidur. Berniat di dalam hati untuk berpuasa, seakan ada kekuatan yang menopang diri saya menahan haus dan lapar. Sehabis subuh, beraktivitas seperti biasa hingga masuk waktu ashar. Setelah itu saatnya rehat sambil mempersiapkan berbuka. Lalu menunggu adzan maghrib sambil mendengarkan tausiyah.
Aktivitas siang hingga maghrib itu yang rasa berbeda sewaktu tinggal di Jepang. Tak jarang, waktu berbuka saya masih berada di perjalanan.
Namun, Ramadhan di tanah air tidaklah sesempurna harapan saya. Di tempat umum tetap saja ada yang tidak menghormati orang yang berpuasa. Para perokok tanpa rasa malu tetap mengepulkan asapnya. Warung-warung yang menjual makanan tetap ramai didatangi pengunjung di siang hari walaupun ditutupi kain.Sekilas, seperti tak ada bedanya dengan pemandangan di Jepang.
Mungkinkah saya yang berharap terlalu banyak? Ataukah kesadaran yang tidak kunjung tumbuh untuk menghormati orang yang berpuasa?
Sekarang saya merasakan lagi indahnya Ramadhan di tanah air. Jam biologis saya seakan diatur kembali. Satu jam sebelum imsak, tubuh seakan ada yang membangunkan dari tidur. Berniat di dalam hati untuk berpuasa, seakan ada kekuatan yang menopang diri saya menahan haus dan lapar. Sehabis subuh, beraktivitas seperti biasa hingga masuk waktu ashar. Setelah itu saatnya rehat sambil mempersiapkan berbuka. Lalu menunggu adzan maghrib sambil mendengarkan tausiyah.
Aktivitas siang hingga maghrib itu yang rasa berbeda sewaktu tinggal di Jepang. Tak jarang, waktu berbuka saya masih berada di perjalanan.
Namun, Ramadhan di tanah air tidaklah sesempurna harapan saya. Di tempat umum tetap saja ada yang tidak menghormati orang yang berpuasa. Para perokok tanpa rasa malu tetap mengepulkan asapnya. Warung-warung yang menjual makanan tetap ramai didatangi pengunjung di siang hari walaupun ditutupi kain.Sekilas, seperti tak ada bedanya dengan pemandangan di Jepang.
Mungkinkah saya yang berharap terlalu banyak? Ataukah kesadaran yang tidak kunjung tumbuh untuk menghormati orang yang berpuasa?
Monday, July 05, 2010
Curhat di antrian
Waduuuh... Antriannya panjang banget! Begitu deh kalau kesiangan datang ke bagian teller bank. Sebenarnya ga terlalu siang sih, baru juga jam 10 pagi tapi mungkin kebanyakan orang juga sempatnya datang pada jam tersebut jadi banyak sekali yang mengantri.
Iseng-iseng saya melirik orang yang berada di depan saya. Seorang wanita bersama anak lelaki. Taksiran saya mungkin umurnya antara 35-40 tahun dan. Dilihat dari dandanannya, wanita itu cukup modis. Blus lengan pendek warna merah marun dipadukan dengan celana jins ketat membungkus tubuhnya yang ramping. Rambutnya diberi highlite merah marun juga. Sapuan make up di wajahnya, membuat mukanya terlihat lebih terang dibanding warna leher dan tangannya.Tak lupa tas tangan berwarna coklat, bercorak tiruan inisial salah satu merek terkenal, melengkapi penampilannya.
Ups... ada lembaran formulir yang masih kosong tuh. Sebaiknya saya beritahu ah, biar nanti mempersingkat waktu transaksi di teller.
"Maaf bu, saya lihat formulirnya masih ada yang kosong tuh."
"Oh yang ini, harus diisi juga ya?" Dia menunjukkan formulir kosong yang saya maksud.
"Iya bu. Mending diisi sekarang, mumpung masih dekat pulpen. Biar di depan nanti ga perlu lama-lama"
"Iya deh."
Dia mengambil pulpen lalu mengisi formulir. Sementara antrian belum bergerak juga.
"Kayaknya masih lama ya mbak?! Wong dari 15 menit yang lalu saya masih tetap antri di sini." Wanita itu mungkin basa-basi menyapa saya.
"Iya nih"
"Padahal baru seminggu yang lalu saya kesini tapi ga seramai sekarang." Dia membenahi gendongan anaknya.
"Mungkin karena tanggal muda." Saya menimpali sekenanya.
Antrian bergerak sedikit. Anaknya terlihat tidak nyaman berada di tengah antrian. Bocah itu mulai rewel dan memukul-mukulkan tangan pada punggung ibunya.
"Sabar ya le, ibu kirim uang dulu buat kakakmu. Nanti dari sini kita naik angkot lagi, mau kan naik mobil?" Dengan dialek jawa, dia berusaha menenangkan anaknya.
"Putranya umur berapa bu?" Sambil bertepuk tangan ke arah anak itu, berharap bisa mengalihkan perhatiannya.
"Satu setengah tahun mbak. Maaf ya, anak saya rewel. Soalnya, dia biasa main lari-lari. Ya namanya juga anak lelaki, ga bisa diam."
"Itu pipinya kenapa?" Saya menunjuk bercak putih di pipi anaknya.
"Hehehe... Itu panu-an. Ya maklum lah, tinggal di lingkungan proyek bangunan. Mainnya sambil ngacak-acak pasir." Dia terkekeh.
"O.. begitu." Saya tersenyum.
"Suami saya kuli bangunan mbak. Dan kami juga tinggal di lokasi proyek."
"Kok ga cari kontarakan aja?"
"Walah, repot mbak. Tempat kerja bapaknya pindah-pindah. Sekarang proyeknya di Cibinong, beres di sini bisa aja pindahnya ke Depok, atau malah tambah jauh. Kalo ngontrak trus tempat kerjanya pindah lebih jauh, ya berat diongkos mbak."
"Iya juga ya bu."
"Lha gaji kuli kan segitu-gitu aja mbak. Ini aja, saya sisihkan sedikit biar bisa ngirimin anak yang di kampung. Seminggu sekali saya ke sini lho, buat ngirimin walaupun sedikit." Terdengar nada bangga dari suaranya.
"Ga apa-apa bu, sedikit demi sedikit kan nanti bisa jadi bukit." Berusaha membesarkan hatinya.
"Iya mbak ya, soalnya uang di tangan nanti ga terasa habisnya. Makanya tiap minggu kan bapaknya gajian, langsung aja sebagian dipisahkan buat anak yang satunya."
"Kok anak yang satu lagi ga dibawa ke sini, bu?" Saya bertanya penasaran.
"Udah sekolah, repot kalo pindah-pindah jadi saya titip aja sama mbahnya."
"Oo.. Begitu ya bu."
Antrian bergerak, kami pun maju.
"Tadinya saya juga di kampung kumpul sama anak karena tempat kerja bapaknya kan pindah-pindah. Tapi laki-laki kalo jauh dari anak istri, gampang tergoda mbak..." Tanpa sadar, wanita itu mulai curhat.
Bagaikan umbi yang sedikit muncul di permukaan tanah, tinggal memberi sedikit tarikan aja bakal lebih banyak umbi yang keluar.
"Biar ga tergoda, berarti laki-laki itu harus ditemani keluarganya terus ya bu?" Beri sedikit empati agar cerita lebih banyak keluar.
"Ya begitulah mbak. Saya udah ngalami sendiri. Waktu jauhan sama bapaknya, kalo ga saya yang nelpon, bapaknya mana ingat. Nafkah juga begitu, kalo ga dibilangin buat keperluan anak-anak, ga tahu deh kemana pergi gajinya."
"Kecapean kerja kali bu, jadi lupa mau nelepon keluarga."
"Ah, bukan itu mbak. Kemana lagi kalo ga nyari hiburan dan kesenangan sendiri, sampai gajinya habis ga jelas. Emangnya saya anak kemarin sore yang gampang dikibulin?!"
"Aduuh, maaf bu. Saya ga bermaksud begitu." Jadi salah tangkap nih.
"Makanya mbak, terpaksa saya berkorban jadi jauhan sama anak yang besar biar kumpul sama bapaknya."
"Iya bu, hidup itu penuh perjuangan dan pengorbanan ya?!"
"Benar mbak. Siapa lagi yang menjaga keutuhan keluarga, kalo bukan kita sendiri." Dia mengangguk mantap.
Bocah lelaki itu mulai rewel lagi. Ibunya kembali menenangkannya sambil mengalihkan perhatian.
"Eeh... Itu ada bunga le. Lihat itu." Sang ibu menunjuk deretan bunga plastik yang menghiasi salah satu sudut ruangan.
"Bagus ga bunganya? Coba dihitung le, bunganya ada berapa?" Sang anak melihat pada arah yang ditunjukkan oleh ibunya.
"Satu. Dua. Tiga. Ada berapa le?" Bocah itu terlihat mulai teralihkan dari kejenuhan mengantri.
Sementara antrian mulai bergerak. Satu, dua, tiga... Saya pun ikut menghitung. Hmm, masih sepuluh orang lagi, baru setelah itu giliran saya.
Iseng-iseng saya melirik orang yang berada di depan saya. Seorang wanita bersama anak lelaki. Taksiran saya mungkin umurnya antara 35-40 tahun dan. Dilihat dari dandanannya, wanita itu cukup modis. Blus lengan pendek warna merah marun dipadukan dengan celana jins ketat membungkus tubuhnya yang ramping. Rambutnya diberi highlite merah marun juga. Sapuan make up di wajahnya, membuat mukanya terlihat lebih terang dibanding warna leher dan tangannya.Tak lupa tas tangan berwarna coklat, bercorak tiruan inisial salah satu merek terkenal, melengkapi penampilannya.
Ups... ada lembaran formulir yang masih kosong tuh. Sebaiknya saya beritahu ah, biar nanti mempersingkat waktu transaksi di teller.
"Maaf bu, saya lihat formulirnya masih ada yang kosong tuh."
"Oh yang ini, harus diisi juga ya?" Dia menunjukkan formulir kosong yang saya maksud.
"Iya bu. Mending diisi sekarang, mumpung masih dekat pulpen. Biar di depan nanti ga perlu lama-lama"
"Iya deh."
Dia mengambil pulpen lalu mengisi formulir. Sementara antrian belum bergerak juga.
"Kayaknya masih lama ya mbak?! Wong dari 15 menit yang lalu saya masih tetap antri di sini." Wanita itu mungkin basa-basi menyapa saya.
"Iya nih"
"Padahal baru seminggu yang lalu saya kesini tapi ga seramai sekarang." Dia membenahi gendongan anaknya.
"Mungkin karena tanggal muda." Saya menimpali sekenanya.
Antrian bergerak sedikit. Anaknya terlihat tidak nyaman berada di tengah antrian. Bocah itu mulai rewel dan memukul-mukulkan tangan pada punggung ibunya.
"Sabar ya le, ibu kirim uang dulu buat kakakmu. Nanti dari sini kita naik angkot lagi, mau kan naik mobil?" Dengan dialek jawa, dia berusaha menenangkan anaknya.
"Putranya umur berapa bu?" Sambil bertepuk tangan ke arah anak itu, berharap bisa mengalihkan perhatiannya.
"Satu setengah tahun mbak. Maaf ya, anak saya rewel. Soalnya, dia biasa main lari-lari. Ya namanya juga anak lelaki, ga bisa diam."
"Itu pipinya kenapa?" Saya menunjuk bercak putih di pipi anaknya.
"Hehehe... Itu panu-an. Ya maklum lah, tinggal di lingkungan proyek bangunan. Mainnya sambil ngacak-acak pasir." Dia terkekeh.
"O.. begitu." Saya tersenyum.
"Suami saya kuli bangunan mbak. Dan kami juga tinggal di lokasi proyek."
"Kok ga cari kontarakan aja?"
"Walah, repot mbak. Tempat kerja bapaknya pindah-pindah. Sekarang proyeknya di Cibinong, beres di sini bisa aja pindahnya ke Depok, atau malah tambah jauh. Kalo ngontrak trus tempat kerjanya pindah lebih jauh, ya berat diongkos mbak."
"Iya juga ya bu."
"Lha gaji kuli kan segitu-gitu aja mbak. Ini aja, saya sisihkan sedikit biar bisa ngirimin anak yang di kampung. Seminggu sekali saya ke sini lho, buat ngirimin walaupun sedikit." Terdengar nada bangga dari suaranya.
"Ga apa-apa bu, sedikit demi sedikit kan nanti bisa jadi bukit." Berusaha membesarkan hatinya.
"Iya mbak ya, soalnya uang di tangan nanti ga terasa habisnya. Makanya tiap minggu kan bapaknya gajian, langsung aja sebagian dipisahkan buat anak yang satunya."
"Kok anak yang satu lagi ga dibawa ke sini, bu?" Saya bertanya penasaran.
"Udah sekolah, repot kalo pindah-pindah jadi saya titip aja sama mbahnya."
"Oo.. Begitu ya bu."
Antrian bergerak, kami pun maju.
"Tadinya saya juga di kampung kumpul sama anak karena tempat kerja bapaknya kan pindah-pindah. Tapi laki-laki kalo jauh dari anak istri, gampang tergoda mbak..." Tanpa sadar, wanita itu mulai curhat.
Bagaikan umbi yang sedikit muncul di permukaan tanah, tinggal memberi sedikit tarikan aja bakal lebih banyak umbi yang keluar.
"Biar ga tergoda, berarti laki-laki itu harus ditemani keluarganya terus ya bu?" Beri sedikit empati agar cerita lebih banyak keluar.
"Ya begitulah mbak. Saya udah ngalami sendiri. Waktu jauhan sama bapaknya, kalo ga saya yang nelpon, bapaknya mana ingat. Nafkah juga begitu, kalo ga dibilangin buat keperluan anak-anak, ga tahu deh kemana pergi gajinya."
"Kecapean kerja kali bu, jadi lupa mau nelepon keluarga."
"Ah, bukan itu mbak. Kemana lagi kalo ga nyari hiburan dan kesenangan sendiri, sampai gajinya habis ga jelas. Emangnya saya anak kemarin sore yang gampang dikibulin?!"
"Aduuh, maaf bu. Saya ga bermaksud begitu." Jadi salah tangkap nih.
"Makanya mbak, terpaksa saya berkorban jadi jauhan sama anak yang besar biar kumpul sama bapaknya."
"Iya bu, hidup itu penuh perjuangan dan pengorbanan ya?!"
"Benar mbak. Siapa lagi yang menjaga keutuhan keluarga, kalo bukan kita sendiri." Dia mengangguk mantap.
Bocah lelaki itu mulai rewel lagi. Ibunya kembali menenangkannya sambil mengalihkan perhatian.
"Eeh... Itu ada bunga le. Lihat itu." Sang ibu menunjuk deretan bunga plastik yang menghiasi salah satu sudut ruangan.
"Bagus ga bunganya? Coba dihitung le, bunganya ada berapa?" Sang anak melihat pada arah yang ditunjukkan oleh ibunya.
"Satu. Dua. Tiga. Ada berapa le?" Bocah itu terlihat mulai teralihkan dari kejenuhan mengantri.
Sementara antrian mulai bergerak. Satu, dua, tiga... Saya pun ikut menghitung. Hmm, masih sepuluh orang lagi, baru setelah itu giliran saya.
Wednesday, March 03, 2010
Indonesia, Yang Saya Punya
Saat berpamitan dengan seorang kenalan yang kebetulan bukan orang Jepang, sebut saja namanya Ms. Mary, ada satu pertanyaannya yang cukup membuat saya sedikit tersindir.
"Are you really an Indonesian?"
"Yes, off course. Why did you ask it?" Saya mengira dia bercanda.
"Saya pernah berkunjung ke Jakarta selama satu bulan. Dan saya berhubungan dengan banyak orang Indonesia."
"Oh ya?!"
"Ya, dan saya perhatikan kalau hampir semua orang Indonesia itu berkulit hampir coklat. Tapi waktu pertama bertemu kamu...."
"Memangnya kenapa dengan saya??"
"Kulitmu putih. Dan waktu kamu bilang berasal dari Indonesia, saya agak kaget."
Ucapannya itu cukup membuat saya ge-er.
"Ooo, begitu kah?? Menurut anda, tadinya saya berasal dari mana?"
"Hmm... Kamu lebih mirip orang China."
"No... No. Hanya darah Indonesia yang saya punya. Asli."
"Benarkah? Tidak ada keturunan China?"
"Yang saya tahu, kakek-nenek asli Indonesia. Bahkan nenek buyut/ nenek ayah saya (masih hidup sampai saya masa kuliah), juga asli Indonesia. Seandainya kami ada keturunan China, pasti ada kebudayaan China yang kami jalani sehari-hari."
********
Singkat cerita, dia percaya saya orang Indonesia asli. Sebaliknya saya yang mulai gelisah. Asli Indonesia tapi apa saja yang sudah saya perbuat untuk bangsa dan tanah air Indonesia?
"Are you really an Indonesian?"
"Yes, off course. Why did you ask it?" Saya mengira dia bercanda.
"Saya pernah berkunjung ke Jakarta selama satu bulan. Dan saya berhubungan dengan banyak orang Indonesia."
"Oh ya?!"
"Ya, dan saya perhatikan kalau hampir semua orang Indonesia itu berkulit hampir coklat. Tapi waktu pertama bertemu kamu...."
"Memangnya kenapa dengan saya??"
"Kulitmu putih. Dan waktu kamu bilang berasal dari Indonesia, saya agak kaget."
Ucapannya itu cukup membuat saya ge-er.
"Ooo, begitu kah?? Menurut anda, tadinya saya berasal dari mana?"
"Hmm... Kamu lebih mirip orang China."
"No... No. Hanya darah Indonesia yang saya punya. Asli."
"Benarkah? Tidak ada keturunan China?"
"Yang saya tahu, kakek-nenek asli Indonesia. Bahkan nenek buyut/ nenek ayah saya (masih hidup sampai saya masa kuliah), juga asli Indonesia. Seandainya kami ada keturunan China, pasti ada kebudayaan China yang kami jalani sehari-hari."
********
Singkat cerita, dia percaya saya orang Indonesia asli. Sebaliknya saya yang mulai gelisah. Asli Indonesia tapi apa saja yang sudah saya perbuat untuk bangsa dan tanah air Indonesia?
Friday, November 27, 2009
I k h l a s
Ikhlas itu tidak mudah
tapi juga tidak berarti sulit
Ikhlas tak perlu dipublikasi
Ikhlas tak perlu dokumentasi
Ikhlas itu cukup Allah dan aku.
Ikhlas begitu mudah dilafadzkan
dan ikhlas tak terlalu sulit untuk diamalkan
karena ikhlas adalah hati, ilmu dan amal yang dipadukan
dan cukup Dia dan diri yang terpuaskan... (Umi Rina)
tapi juga tidak berarti sulit
Ikhlas tak perlu dipublikasi
Ikhlas tak perlu dokumentasi
Ikhlas itu cukup Allah dan aku.
Ikhlas begitu mudah dilafadzkan
dan ikhlas tak terlalu sulit untuk diamalkan
karena ikhlas adalah hati, ilmu dan amal yang dipadukan
dan cukup Dia dan diri yang terpuaskan... (Umi Rina)
Wednesday, September 16, 2009
Berpuasa
"Kok ga makan?" Murakami san menyapa saya saat istirahat siang.
"Saya puasa."
"Ooo...puasa. Berhubungan dengan agama dan Tuhan ya?!" Dia bertanya lagi.
"Iya betul."
Orang Jepang juga mengenal aktivitas puasa. Biasanya dilakukan oleh biarawan atau biarawati. Hanya saja tidak sebulan penuh seperti umat Islam.
"Puasanya hari ini saja kan?!"
"Tidak, tapi selama satu bulan penuh." Saya yakin akan ada pertanyaan berikutnya.
"Hhaahh... satu bulan?!" Ekspresi keterkejutan terpancar jelas dari matanya yang membesar. " Apa badanmu nanti ga sakit? Bagaimanapun, tubuh kan butuh kekuatan dari makanan kan?! Dan kamu tetap beraktivitas seperti biasanya!" Pertanyaan beruntun seperti ini sudah saya duga akan keluar.
"Aah... tidak apa-apa. Berpuasa kan saat siang, kalau malam bisa makan seperti biasa. Saya sudah berpuasa sejak umur 8 tahun lho... Kamu lihat sendiri kan, sampai sekarang saya baik-baik saja?!" Saya mencoba menghapus kekhawatiran di wajahnya.
"Wah, rasanya susah dipercaya. Satu bulan berpuasa dengan aktivitas yang tidak berubah, tapi kondisi tubuh tetap baik-baik saja." Keheranan terpancar jelas dari wajahnya.
Hmm... Sepertinya saya harus menjelaskan secara logis, agar dia tidak memandang puasa sebagai rutinitas keagamaan yang tak masuk di akal.
"Ya, untuk beraktivitas kita memang butuh tenaga. Di beberapa bagian tubuh kan ada penumpukan lemak. Saat tidak ada makanan yang masuk, tubuh akan menggunakannya sebagai sumber tenaga. Penumpukan lemaknya akan berkurang, bisa menyehatkan badan kan?!" Mungkin saja dengan penjelasan seperti ini bisa diterima logikanya.
"Haa... masih susah saya percaya. Yang saya bayangkan, kalau tidak makan badan akan lemas dan tidak kuat bekerja." Raut tak percaya terpancar dari wajahnya.
"Ya sudah, bagaimana kalo kamu mencoba berpuasa saja?" Sambil tersenyum saya coba menantangnya. "Saya saja sudah melakukannya sejak kecil lho..."
"Aaa... Tidak, tidak. Rasanya saya tidak akan kuat seperti kamu." Dia tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Saya puasa."
"Ooo...puasa. Berhubungan dengan agama dan Tuhan ya?!" Dia bertanya lagi.
"Iya betul."
Orang Jepang juga mengenal aktivitas puasa. Biasanya dilakukan oleh biarawan atau biarawati. Hanya saja tidak sebulan penuh seperti umat Islam.
"Puasanya hari ini saja kan?!"
"Tidak, tapi selama satu bulan penuh." Saya yakin akan ada pertanyaan berikutnya.
"Hhaahh... satu bulan?!" Ekspresi keterkejutan terpancar jelas dari matanya yang membesar. " Apa badanmu nanti ga sakit? Bagaimanapun, tubuh kan butuh kekuatan dari makanan kan?! Dan kamu tetap beraktivitas seperti biasanya!" Pertanyaan beruntun seperti ini sudah saya duga akan keluar.
"Aah... tidak apa-apa. Berpuasa kan saat siang, kalau malam bisa makan seperti biasa. Saya sudah berpuasa sejak umur 8 tahun lho... Kamu lihat sendiri kan, sampai sekarang saya baik-baik saja?!" Saya mencoba menghapus kekhawatiran di wajahnya.
"Wah, rasanya susah dipercaya. Satu bulan berpuasa dengan aktivitas yang tidak berubah, tapi kondisi tubuh tetap baik-baik saja." Keheranan terpancar jelas dari wajahnya.
Hmm... Sepertinya saya harus menjelaskan secara logis, agar dia tidak memandang puasa sebagai rutinitas keagamaan yang tak masuk di akal.
"Ya, untuk beraktivitas kita memang butuh tenaga. Di beberapa bagian tubuh kan ada penumpukan lemak. Saat tidak ada makanan yang masuk, tubuh akan menggunakannya sebagai sumber tenaga. Penumpukan lemaknya akan berkurang, bisa menyehatkan badan kan?!" Mungkin saja dengan penjelasan seperti ini bisa diterima logikanya.
"Haa... masih susah saya percaya. Yang saya bayangkan, kalau tidak makan badan akan lemas dan tidak kuat bekerja." Raut tak percaya terpancar dari wajahnya.
"Ya sudah, bagaimana kalo kamu mencoba berpuasa saja?" Sambil tersenyum saya coba menantangnya. "Saya saja sudah melakukannya sejak kecil lho..."
"Aaa... Tidak, tidak. Rasanya saya tidak akan kuat seperti kamu." Dia tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
Saturday, July 04, 2009
You Are...
It was a glance when we first met
You surprised us with your gift at the second time
You even didn't mind when my kids called you 'Bunda'...
It was a very tough days
But you've made it easier
That you showed us how to through it all
Even when we felt all alone and lonely
You've made it full-surrounded
You've made it even comfort day by day
You, there's no matched words to figure you out
You, there's no perfect ways to pay you back
And with you, I found 'the heart-connection'
Just a simple wish,
May you will always in Allah's faith
May you will always be my 'Sister'
Here and after...
Especially for you, "Hontoni arigatou gozaimashita!!!"
Seorang sahabat (lebih dari sahabat, saudara mungkin lebih tepat), membuat puisi spesial itu. Yah, seperti juga dirinya dan anak-anaknya yang juga mendapat tempat spesial di hati saya.
Jazakillah khoir untuk persahabatan dan persaudaraan yang begitu indah ini, smoga Allah mempertemukan kita lagi ya...
"......Ya Allah, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa hati ini telah bersatu padu dalam cinta kepada-Mu. Maka kokohkanlah ikatan hati ini ya Allah, abadikanlah kemesraannya, penuhilah seluruh hati ini dengan cahayaMu yang tak pernah padam...."
You surprised us with your gift at the second time
You even didn't mind when my kids called you 'Bunda'...
It was a very tough days
But you've made it easier
That you showed us how to through it all
Even when we felt all alone and lonely
You've made it full-surrounded
You've made it even comfort day by day
You, there's no matched words to figure you out
You, there's no perfect ways to pay you back
And with you, I found 'the heart-connection'
Just a simple wish,
May you will always in Allah's faith
May you will always be my 'Sister'
Here and after...
Especially for you, "Hontoni arigatou gozaimashita!!!"
Seorang sahabat (lebih dari sahabat, saudara mungkin lebih tepat), membuat puisi spesial itu. Yah, seperti juga dirinya dan anak-anaknya yang juga mendapat tempat spesial di hati saya.
Jazakillah khoir untuk persahabatan dan persaudaraan yang begitu indah ini, smoga Allah mempertemukan kita lagi ya...
"......Ya Allah, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa hati ini telah bersatu padu dalam cinta kepada-Mu. Maka kokohkanlah ikatan hati ini ya Allah, abadikanlah kemesraannya, penuhilah seluruh hati ini dengan cahayaMu yang tak pernah padam...."
Monday, December 22, 2008
Mother's Day
Dalam rangka hari ibu, ini saya posting lirik salah satu lagu favorite saya. Lagu lama siih. Sebenarnya banyak lagu lain dengan tema serupa tapi ga tau kenapa yang ini selalu berkesan banget buat saya. Sambil dinyanyiin yuuk....
BUNDA
(by Melly Goeslaw)
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Ku pandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirkupun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Reff
Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu dtimang
Nada nada yang indah
Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Back to reff
Oh bunda ada dan tiada dirimu
Kan slalu ada di dalam hatiku
BUNDA
(by Melly Goeslaw)
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Ku pandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirkupun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Reff
Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu dtimang
Nada nada yang indah
Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Back to reff
Oh bunda ada dan tiada dirimu
Kan slalu ada di dalam hatiku
Wednesday, November 19, 2008
Today is a Gift
Hari ini si dia pulang dari kampus dengan wajah berseri-seri.
Yatta....!!!
Alhamdulillah....
Bibir dan hati tak henti melafadzkan syukur.
Syukur tak terhingga atas segala nikmat dan kemudahanMu ya Allah.
Satu tugas telah terlaksanakan.
Smoga tugas-tugas berikut juga diberi kemudahan.
Maka nikmat Allah yang mana lagi yang kamu dustakan?
Yesterday is history,
tomorrow is mystery
but today is a gift, that's why they call it the present.
(Master Oogway in Kungfu Panda)
Yatta....!!!
Alhamdulillah....
Bibir dan hati tak henti melafadzkan syukur.
Syukur tak terhingga atas segala nikmat dan kemudahanMu ya Allah.
Satu tugas telah terlaksanakan.
Smoga tugas-tugas berikut juga diberi kemudahan.
Maka nikmat Allah yang mana lagi yang kamu dustakan?
Yesterday is history,
tomorrow is mystery
but today is a gift, that's why they call it the present.
(Master Oogway in Kungfu Panda)
Monday, June 23, 2008
Jangan Takut Bermimpi
Udah baca buku best seller tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Edensor belum (yang keempat Maryamah Karpov belum terbit)?? Kalo ada yang belum, cepat-cepat cari bukunya trus baca sampai khatam ya! Ga rugi deh membaca buku-buku tersebut. Banyak banget pelajaran yang bisa dipetik dari buku-buku itu. Saya juga termasuk yang terlambat, buku pertama dari tetralogi ini sudah terbit sejak September 2005 dan saya baru membacanya satu bulan yang lalu. Hihihi... maklum rada kuper nih, padahal tahun 2006 kan sempat mudik tapi ga tahu ada buku bagus begini.
Buku tersebut berisi kisah nyata yang dialami sang penulis, Andrea Hirata. Bermula dari setting di pedalaman pulau Belitong sampai ke Eropa dan Afrika. Dari cerita bahagia, sedih, lucu serta yang mengharu biru. Termasuk juga kisah first love yang penuh kenangan. Menurut saya, buku itu hampir seperti biografi penulis yang dikemas dalam bentuk novel.
Coba bayangkan, SD-SMP bersekolah di pedalaman Belitong dengan bangunan sekolah yang hampir roboh, kalau hujan kelasnya bocor dimana-mana. Gurunya kadang digaji kadang nggak. Muridnya ga punya seragam, malah ada yang tidak bersepatu ke sekolah. Duuh... miris deh kalo ngebayanginnya. Tapi jangan tanya bagaimana semangat belajar mereka. Ada yang menempuh jarak 40 km, melewati rawa yang ada buaya. Namun itu tidak mengendurkan semangat untuk sekolah. Waduh sulit deh saya menggambarkan dengan kata-kata tentang semangat anak-anak yang tergabung dalam Laskar Pelangi. Semangat yang luar biasa!!! Semangat untuk meraih mimpi dan cita-citanya.
Seorang pencandu narkoba langsung berniat untuk secepatnya sembuh dari ketergantungannya. Dan seorang dokter gigi yang baru lulus, langsung punya nyali untuk membuka praktek pribadi. Itulah secuil cerita orang-orang yang mendapat inspirasi setelah membaca novel Laskar Pelangi (pernah ditayangkan dalam talk show Kick Andy, kalo mau lihat siarannya ada di Youtube). Ga heran kalau harian Republika menobatkan Andrea Hirata sebagai salah satu tokoh perubahan tahun 2007.
Terlepas dari istilah-istilah asing yang banyak digunakan penulis, yang mungkin kurang dipahami oleh sebagian orang, novel-novel ini strong recommended buat dibaca. Dan walaupun kemasannya novel, menurut saya cocok juga buat bacaan remaja tanggung. Karena pesan moral dan motivasi untuk menggapai mimpi betul-betul menonjol dari ketiga novel tersebut.
"Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya." Itu salah satu pesan moral yang tertulis dalam novel Laskar Pelangi. Dan Andrea Hirata membuktikannya dengan tidak menikmati royalti penjualan bukunya (diperkirakan sudah mencapai Rp. 1 milyar) untuk kepentingan pribadi, tetapi menggunakannya untuk Laskar Pelangi in Action. Sebuah project untuk memajukan pendidikan bagi anak-anak di pulau Belitung. Jangan bayangkan nominal uangnya ya, tapi coba bayangkan pahala yang bisa dibawa buat o-bento di akhirat nanti. Waduh, jadi ngiri deh. Ayoo... semangat, semangat !!!
Ssstt... buruan baca bukunya, sebelum film-nya beredar. Soalnya belum tentu cerita di film sama persis seperti di buku.
*o-bento (Japanese) : bekal makanan.
Monday, March 31, 2008
Akhir Maret yang Melelahkan
Ga terasa udah sampe di penghujung bulan Maret. Bagi teman-teman yang lain, mungkin akhir Maret tuh sama aja seperti akhir bulan lainnya. Tapi buat saya (mungkin juga teman-teman yang tinggal di Jepang lainnya), akhir Maret tuh cukup membuat sibuk dan melelahkan. Kenapa sibuk dan melelahkan??? Karena akhir Maret itu tanda akhir tahun ajaran bagi pelajar serta berakhirnya masa berlaku sebagian besar dokumen-dokumen. Makanya, akhir Maret tuh banyak urusan yang harus diperbaharui.
Apa aja sih kesibukan akhir Maret itu??
Mulai dari memperbaharui kontrak sewa asrama termasuk urusan bayar-bayarnya. Trus perpanjangan asuransi kesehatan yang harus diurus langsung ke city office. Padahal biasanya, kartu asuransi langsung dikirim via pos ke alamat tapi berhubung visa suami berakhir tanggal 2 April 2008, officer-nya menduga kami akan moving out dari Japan. Trus karena visa saya berakhir bulan Juli 2008 akibatnya asuransi saya dan suami juga hanya berlaku sampai bulan tersebut. Jadi nanti setelah ada bukti perpanjangan visa saya, baru asuransinya bisa diperpanjang sampai akhir Maret tahun depan.
Ga cuma itu, kami juga baru mulai nyicil mengirim barang via kontainer kapal laut. Meringankan tugas bila tiba saatnya untuk kembali ke tanah air. Ternyata baru nyicil aja, proses packing sudah terasa cukup menyita waktu. Ga terbayang deh sibuk dan capeknya teman yang benar-benar pulang ke tanah air karena sudah selesai tugas, mungkin kegiatan tetap satu bulan terakhir ya packing. Dan mungkin rumahnya jadi mirip gudang, penuh dus barang-barang. Eh, ini kalo berniat membawa barang dari Jepang lho.... Kalo ga niat mau bawa barang, no problemo.
Sementara sebagai homemaker tanpa asisten, otomatis saya harus meng-handle tugas-tugas di rumah termasuk dapur harus tetap ngebul. Saya ga bisa berharap banyak pada suami (untuk membantu) karena beliau sendiri juga sudah sibuk dengan tugas-tugas studi-nya.
Kalo banyak kesibukan begini, waktu benar-benar terasa cepat. Waktu senggang yang sedikit harus dioptimalkan untuk istirahat memulihkan tenaga untuk aktivitas berikutnya. Jadi mohon maaf ya, kalo beberapa hari (mungkin seminggu) belakangan ini ga ada cerita baru di sini.
Apa aja sih kesibukan akhir Maret itu??
Mulai dari memperbaharui kontrak sewa asrama termasuk urusan bayar-bayarnya. Trus perpanjangan asuransi kesehatan yang harus diurus langsung ke city office. Padahal biasanya, kartu asuransi langsung dikirim via pos ke alamat tapi berhubung visa suami berakhir tanggal 2 April 2008, officer-nya menduga kami akan moving out dari Japan. Trus karena visa saya berakhir bulan Juli 2008 akibatnya asuransi saya dan suami juga hanya berlaku sampai bulan tersebut. Jadi nanti setelah ada bukti perpanjangan visa saya, baru asuransinya bisa diperpanjang sampai akhir Maret tahun depan.
Ga cuma itu, kami juga baru mulai nyicil mengirim barang via kontainer kapal laut. Meringankan tugas bila tiba saatnya untuk kembali ke tanah air. Ternyata baru nyicil aja, proses packing sudah terasa cukup menyita waktu. Ga terbayang deh sibuk dan capeknya teman yang benar-benar pulang ke tanah air karena sudah selesai tugas, mungkin kegiatan tetap satu bulan terakhir ya packing. Dan mungkin rumahnya jadi mirip gudang, penuh dus barang-barang. Eh, ini kalo berniat membawa barang dari Jepang lho.... Kalo ga niat mau bawa barang, no problemo.
Sementara sebagai homemaker tanpa asisten, otomatis saya harus meng-handle tugas-tugas di rumah termasuk dapur harus tetap ngebul. Saya ga bisa berharap banyak pada suami (untuk membantu) karena beliau sendiri juga sudah sibuk dengan tugas-tugas studi-nya.
Kalo banyak kesibukan begini, waktu benar-benar terasa cepat. Waktu senggang yang sedikit harus dioptimalkan untuk istirahat memulihkan tenaga untuk aktivitas berikutnya. Jadi mohon maaf ya, kalo beberapa hari (mungkin seminggu) belakangan ini ga ada cerita baru di sini.
Wednesday, February 20, 2008
Ingin Pulang Ga Sih??
Kemarin ada silaturahmi plus pengajian plus perpisahan plus makan siang bersama muslimah Indonesia di Tsukuba. Banyak plus-nya ya?! Karena lazimnya masa selesai tugas (baik tugas study, riset atau kontrak kerja) adalah akhir Maret maka bulan Februari-Maret emang musimnya perpisahan.
Rasanya sudah berkali-kali saya ikut acara perpisahan. Mulai perpisahan untuk teman yang memang lebih duluan datang ke Tsukuba sampai teman yang
datangnya baru aja 1 atau 2 tahun yang lalu. Kayaknya ga sopan deh, datang belakangan tapi pulang duluan. Hehehe.... Tapi memang ga bisa diurutkan, yang datang lebih dulu harus pulang lebih dulu. Masing-masing punya jadwal dan rencana sendiri yang tidak bergantung satu sama lain. Kalo memang sudah datang masanya untuk kembali ke tanah air, ya pulang lah.
Di sela-sela waktu santai, suami saya kadang sempat nyeletuk, "teman-teman datang dan pergi tapi kita tetap di sini aja ya?!" Setiap tahun melepas kepulangan teman-teman kembali ke tanah air. Kami seolah-olahmemang jadi saksi kedatangan dan kepulangan teman-teman selama 4 tahun terakhir di Tsukuba. Pulang di sini maksudnya pulang selesai tugas, bukan pulang untuk berlibur atau sekedar mengunjungi keluarga.
Pernah ada yang menyatakan keheranannya, kok kami berdua kayaknya betah berlama-lama di Tsukuba. Apa ga ingin pulang? Ga kangen sama keluarga?
Kalo ditanyakan soal betah? Mungkin bisa dibilang betah karena kami sering ga sadar kalo udah cukup lama tinggal di sini. Empat tahun bukan waktu yang singkat kan?! Tapi kami merasa seolah baru kemarin rasanya perama kali menginjakkan kaki di negeri samurai, baru kemarin saya menelpon ibunda bahwa saya dah nyampe dengan selamat dan berkumpul lagi dengan suami. Baru kemarin juga rasanya cerita pada ibunda kalo saya punya teman baru, orang Jepang tapi bisa bahasa Indonesia.Ternyata kejadian itu sudah lama dan saya masih merasa seperti kemarin.
Mungkin karena selalu berusaha "feel like own home" dimana pun berada sehingga kami bisa enjoy. Kami menikmati episode hidup yang berjudul "Tinggal di Tsukuba" dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Beruntung juga saya dikasih Allah suami yang baik. Suami yang memberikan kebebasan beraktivitas pada saya, kebebasan bertanggung jawab dan tidak melanggar norma-norma. Apa aja yang bisa bikin saya betah, dia dukung sepenuhnya.
Kapan suami lulus trus pulang ke Indonesia? Ga kangen keluarga dan teman lama ya? Pertanyaan itu sudah sekian kali, mungkin ada satu triliyun karung (meminjam istilah Tukul Arwana, agak hiperbola dikit ga papa ya...) mampir di email ataupun terketik saat chatting, juga terdengar saat menelpon dengan sodara dan teman-teman di tanah air. Dan selalu saya jawab, mohon do'a-nya supaya semuanya berjalan lancar sehingga bisa cepat pulang dan cepat ketemu lagi. Cukup diplomatis ga jawabannya??
Tak dipungkiri, saya kangen banget sama ortu, adik-adik, keponakan semata wayang (yang baru sempat ketemu muka saat chatting via webcame), sodara dan juga teman-teman saya. Apalagi kalo pas saya telepon, keluarga besar saya sedang ngumpul. Rasanya ingin saat itu juga saya terbang ke tanah air untuk bergabung. Dan saya yakin suami pun merasakan hal yang sama. Tapi sementara ini kami masih ada tugas (yang berhubungan dengan rencana masa depan) yang harus diselesaikan di sini. Ga papa deh jauhan asalkan dekat di hati dan saling menguatkan.
Buat teman-teman yang mau pulang, makasih untuk persaudaraan, persahabatan, bantuan dan sharing ilmu selama di Tsukuba. Semoga kita dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih baik dari sekarang. Aamiin.
Rasanya sudah berkali-kali saya ikut acara perpisahan. Mulai perpisahan untuk teman yang memang lebih duluan datang ke Tsukuba sampai teman yang

Di sela-sela waktu santai, suami saya kadang sempat nyeletuk, "teman-teman datang dan pergi tapi kita tetap di sini aja ya?!" Setiap tahun melepas kepulangan teman-teman kembali ke tanah air. Kami seolah-olah
Pernah ada yang menyatakan keheranannya, kok kami berdua kayaknya betah berlama-lama di Tsukuba. Apa ga ingin pulang? Ga kangen sama keluarga?
Kalo ditanyakan soal betah? Mungkin bisa dibilang betah karena kami sering ga sadar kalo udah cukup lama tinggal di sini. Empat tahun bukan waktu yang singkat kan?! Tapi kami merasa seolah baru kemarin rasanya perama kali menginjakkan kaki di negeri samurai, baru kemarin saya menelpon ibunda bahwa saya dah nyampe dengan selamat dan berkumpul lagi dengan suami. Baru kemarin juga rasanya cerita pada ibunda kalo saya punya teman baru, orang Jepang tapi bisa bahasa Indonesia.Ternyata kejadian itu sudah lama dan saya masih merasa seperti kemarin.
Mungkin karena selalu berusaha "feel like own home" dimana pun berada sehingga kami bisa enjoy. Kami menikmati episode hidup yang berjudul "Tinggal di Tsukuba" dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Beruntung juga saya dikasih Allah suami yang baik. Suami yang memberikan kebebasan beraktivitas pada saya, kebebasan bertanggung jawab dan tidak melanggar norma-norma. Apa aja yang bisa bikin saya betah, dia dukung sepenuhnya.
Kapan suami lulus trus pulang ke Indonesia? Ga kangen keluarga dan teman lama ya? Pertanyaan itu sudah sekian kali, mungkin ada satu triliyun karung (meminjam istilah Tukul Arwana, agak hiperbola dikit ga papa ya...) mampir di email ataupun terketik saat chatting, juga terdengar saat menelpon dengan sodara dan teman-teman di tanah air. Dan selalu saya jawab, mohon do'a-nya supaya semuanya berjalan lancar sehingga bisa cepat pulang dan cepat ketemu lagi. Cukup diplomatis ga jawabannya??
Tak dipungkiri, saya kangen banget sama ortu, adik-adik, keponakan semata wayang (yang baru sempat ketemu muka saat chatting via webcame), sodara dan juga teman-teman saya. Apalagi kalo pas saya telepon, keluarga besar saya sedang ngumpul. Rasanya ingin saat itu juga saya terbang ke tanah air untuk bergabung. Dan saya yakin suami pun merasakan hal yang sama. Tapi sementara ini kami masih ada tugas (yang berhubungan dengan rencana masa depan) yang harus diselesaikan di sini. Ga papa deh jauhan asalkan dekat di hati dan saling menguatkan.
Buat teman-teman yang mau pulang, makasih untuk persaudaraan, persahabatan, bantuan dan sharing ilmu selama di Tsukuba. Semoga kita dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih baik dari sekarang. Aamiin.
Subscribe to:
Posts (Atom)