Thursday, January 25, 2007

New Zealand or Disneyland?

Siang ini saya bertemu dengan seorang guru bahasa Inggris yang berasal dari New Zealand. Tahu New Zealand kan?! Selandia Baru, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Itu lho...., salah satu negara kepulauan yang terletak di samudra pasifik dan dekat dengan Australia. Sebenarnya, orang New Zealand itu datang ke Jepang untuk memperdalam pelajaran bahasa Jepang serta huruf kanji. Karena ada yang membutuhkan guru, akhirnya dia juga mengajar bahasa Inggris. Sambil menyelam minum air deh ceritanya;)

Dengar nama New Zealand, saya jadi senyum-senyum sendiri;)) Jadi teringat salah satu acara di TV sini waktu akhir Desember yang lalu. Acara tersebut (lupa namanya) berisi liputan tentang orang-orang lanjut usia yang mempunyai kebiasaan aneh. Benar-benar lanjut usia, semuanya di atas 80 tahun.

Di Jepang sepertinya tidak terlalu sulit untuk menemukan orang usia lanjut di atas 80 tahun. Namun yang dicari tentu saja bukan orang biasa melainkan yang punya kebiasaan aneh.Pemenang tahun 2005, seorang kakek-kakek yang selalu menyumbat kedua lubang hidungnya dengan tissue. Waktu ditanya, kenapa melakukan itu? Jawabnya, (kalo nggak salah) biar hidungnya bisa istirahat jadi kakek itu bernapas dengan mulut. Aneh kan?!:D Untuk menemukan orang-orang seperti itu, beberapa reporter dan juru kamera disebar ke seluruh Jepang. Jadi pesertanya berasal dari seluruh Jepang. Lalu hasil liputan itu diserahkan kepada dewan juri untuk dinilai dan ditentukan pemenangnya.

Naah..... Salah satu isi liputan acara itu ada hubungannya dengan New Zealand. Ada seorang kakek-kakek (lagi), yang dicegat oleh tim acara tersebut. Kakek itu ditanya umurnya dan apa saja hobi serta kesibukannya. Kira-kira begini obrolannya :

Reporter : "Kakek hobi-nya apa?"
Kakek : "Oo...saya paling suka jalan-jalan."
Reporter : "O ya?! Sudah pernah jalan kemana aja?"
Kakek : "Banyak.... Saya sudah keliling-keliling. Ke..... (dia menyebutkan beberapa kota dan tempat-tempat terkenal di Jepang). Baru-baru ini saya juga pergi ke Nyuu Jirando (New Zealand dalam ejaan bahasa Jepang)<):)
Dengan bangga, kakek itu bercerita kepada reporter.
Reporter : "Waah... hebat!! Sampai ke luar negeri juga ya?!" :-O
Kakek : "Lho, kok luar negeri sih?!":-/
Reporter : "Lha iya. Negara New Zealand yang dekat Australia itu kan?!"
Kakek : "Bukan. New Zealand kan dekat Tokyo!"
Reporter : "Dekat Tokyo :-/ Trus, kakek ngapain aja di sana?"
Kakek : "Ya.. jalan-jalan trus ketemu dengan Mickey dan Minie Mouse."
Reporter : "Heeee... Itu namanya Disuniirando (Disneyland) kek! Tokyo Disneyland."=
Kakek : "Nyuu Jirando da yoo... (ngotot)."
*****

Tapi si-kakek itu tidak berhasil menjadi pemenang karena ada yang lebih aneh lagi. Jadi itu tuh yang bikin saya senyum-senyum sendiri waktu ketemu orang New Zealand.

Friday, January 19, 2007

Kendala Bahasa (part 2)

Terima kasih buat yang sudah koar-koar meminta saya untuk update cerita. Terima kasih juga buat yang sudah rajin mampir ke blog ini, walaupun waktu mampir menelan kecewa karena belum menemukan cerita baru. Semoga teman-teman masih bersedia menyapa saya.


Posting-an kali ini masih berkaitan dengan kendala bahasa. Seperti kata mama Dilla, kendala no 1 kalau tinggal di negeri orang itu adalah bahasa.

Waktu di Indonesia, saya tidak mempermasalahkan tempat-tempat umum yang tidak dilengkapi petunjuk dalam bahasa inggris atau bahasa asing lainnya. Mungkin karena masih di negeri sendiri sehingga hal itu tidak dianggap sebagai masalah yang penting. Saat itu tidak terpikirkan oleh saya, apa pentingnya petunjuk yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Begitu juga waktu saya tinggal di Jogjakarta yang berhati nyaman, saya belum juga menyadari arti pentingnya. Padahal di kota gudeg itu selalu dijumpai orang asing yang lalu lalang, terutama di jalan Malioboro. Tak pernah terpikirkan oleh saya, bagaimana bila orang asing itu tersasar? Mengertikah mereka dengan petunjuk-petunjuk di tempat umum bila yang tertera hanyalah penjelasan dalam bahasa persatuan bahasa Indonesia? Hal-hal itu sama sekali tak pernah melintas di pikiran saya.

Masa-masa awal tinggal di Tsukuba saya juga tidak mengerti petunjuk -petunjuk yang berbahasa Jepang. Kalo kebetulan berada dekat dengan information center, kemungkinan besar bakalan dapat penjelasan berbahasa inggris. Nah.... masalahnya tidak setiap tempat umum ada petugas informasi yang bisa cas cis cus berbahasa inggris. Sedangkan saya sendiri juga belum bisa cas cis cus berbahasa Jepang. Petunjuk-petunjuk yang dipasang di pinggir jalan pun, sebagian besar ditulis dengan huruf kanji. Padahal pelajaran bahasa Jepang yang saya dapat baru huruf hiragana dan katakana. Bagaimana mau mengerti, huruf-hurufnya saja tidak bisa dibaca. Repot kan?!

Setelah menjadi orang asing di negeri orang, barulah terasa pentingnya petunjuk yang diterjemahkan (paling tidak) dalam bahasa inggris.

Thursday, January 11, 2007

Tentang Karir

Beberapa teman di sini terheran-heran ketika mengetahui usia saya. Mada wakai demo kekkon shiteiru:-O, menurut mereka. Kalau wanita Jepang, seusia saya ini sedang semangat-semangatnya bekerja di luar rumah. Masih jauh dari pikiran menikah.

Mengambil keputusan nikah di usia muda, dulu merupakan hal yang biasa bagi wanita Jepang. Setelah menikah, seluruh waktu hanya tercurah untuk keluarga dan urusan rumah tangga。Hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan di luar rumah, otomatis dihentikan. Apalagi, orang Jepang tidak biasa memakai jasa pembantu rumah tangga sehingga siapa lagi yang mengerjakan pekerjaan di rumah selain istri. Biasanya para istri kembali aktif di luar rumah setelah anak-anaknya bisa mandiri.

Lain dulu, lain pula sekarang. Ada perubahan pada pola pikir wanita Jepang*-:)Jaman sekarang, sebagian mereka lebih memilih berkarir di luar rumah atau kerja kantoran. Tak jarang, mereka mengesampingkan keinginan menikah karena mengejar karir. Mereka memuaskan diri dulu dengan kerja kantoran baru kemudian menikah. Jadi jangan heran bila wanita Jepang sekarang banyak yang menikah di atas usia 35 tahun. Saat usia sang ibu sudah kepala empat, anaknya masih kecil-kecil.

Bagi mereka, berkarir tidak bisa seiring sejalan dengan berkeluarga. Saat memutuskan untuk membina rumah tangga maka saat itu pula mereka harus melepas karir di tempat mereka bekerja.

Dulu saya juga berpikir bahwa yang namanya berkarir (bagi wanita) harus di luar rumah. Sekarang berbeda. Yang namanya karir tidak lagi harus di luar rumah. Rumahku kantorku dan karirku adalah keluargaku. Berkarir dari rumah juga bisa:D/

Berkarir sebagai ibu rumah tangga (IRT) bukanlah hal yang gampang:-
Teh Aishliz bilang, IRT adalah sebuah profesi yang sangat perlu didukung oleh keahlian, pengetahuan dan keterampilan seperti pekerjaan di kantor. Atau seperti dikatakan mba Putri, “menjadi ibu rumah tangga yang berbasis bisnis.”$-) Dengan ilmu yang memadai dan kerja keras, rasanya hal itu bukanlah suatu yang mustahil untuk dijalankan.

Tinggal pilih, mau berkarir dari dalam atau dari luar rumah?;)


Inspired by Dito chan.
*Mada wakai demo kekkon shiteiru : Masih muda tapi sudah menikah.

Friday, January 05, 2007

Chanoyu : When Eyes Saying Much

Suatu pengalaman menarik bagi saya ketika diundang mengikuti upacara minum teh ala Jepang (Chanoyu atau Sado) di rumah seorang teman. Saya membayangkan suasana ngobrol penuh akrab sambil menikmati kue dan teh Jepang (ocha) yang beraroma khas. Ternyata bayangan itu tidak tepat:-? Meskipun acaranya diusahakan berkesan santai tetapi chanoyu sensei berusaha mengajak kami untuk menikmati upacara itu seperti chanoyu resmi.

Upacara dimulai dengan suara ketukan gayung bambu. Dengan gayung tersebut air dalam bejana yang dipanaskan di atas tungku, dituang ke dalam chawan keramik yang telah diisi bubuk teh. Cara menuang pun diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan bunyi aliran air yang indah. Lalu campuran air dan bubuk teh diaduk hingga merata, selanjutnya siap untuk dinikmati.

Saat menerima chawan yang berisi teh, kita tidak perlu mengucapkan kata terima kasih. Cukup dengan isyarat mata dan menunduk saat menerima chawan. Saat itu dijelaskan pula bahwa saat mengikuti chanoyu para tamu dianjurkan untuk tidak mengeluarkan suara. Begitupun saat ingin tambah, cukup dengan dengan isyarat mata ;;) dan mengangkat chawan, maka sensei akan mengerti. Dan saat mendengarkan suara aliran air dalam keheningan membuat perasaan saya menjadi rileks. Mungkin itu sebabnya dianjurkan untuk tidak bersuara.

Tetapi bukan hanya isyarat mata yang dinanti oleh chanoyu sensei. Minum teh tegukan terakhir hingga bersuara juga dinantikan karena mengisyaratkan kelezatan atas teh racikannya<:-P Padahal minum hingga menimbulkan suara, di masyarakat kita dinilai kurang sopan ;)) Suatu pemahaman yang saling bertolak belakang.

Namun begitu, saya appreciate atas usaha orang Jepang dalam melestarikan kebudayaan leluhurnya di tengah gegap gempita arus modernisasi<):)