Friday, December 31, 2010

Akhir Tahun

Beberapa jam lagi, tahun 2010 akan segera berakhir. Berbagai peristiwa terjadi setahun ini. Ada yang senang membahagiakan, lucu penuh canda, ada pula kegagalan serta sedih yang memaksa air mata jatuh. Masa yang telah lewat tak akan kembali. Kegagalan dan kekecewaan ga perlu disesali. Begitulah hidup, penuh dinamika yang kadang tak terduga.

Bagi sebagian orang, pergantian tahun adalah moment yang penting untuk dirayakan. Lihat saja, berbagai penawaran selebrasi di restoran, hotel serta beberapa tempat umum. Mereka berlomba memberi penawaran semenarik mungkin. Sebagian besar perayaan itu berupa pesta sejak sore hingga lewat tengah malam. Melihat fenomena tersebut membuat saya berpikir, sebenarnya untuk apa itu semua?

Saya dan suami termasuk orang yang tidak terlalu menganggap penting perayaan pergantian tahun. Bagi kami, tak perlu acara spesial saat pergantian tahun, dilewati biasa saja seperti malam-malam yang lain. Hanya saja dalam obrolan ringan menjelang akhir tahun, sering tercetus target dan harapan yang ingin kami raih di waktu mendatang. Saya kira hal itu wajar, setiap orang ingin lebih baik, lebih maju kan?!

Kilas balik pada saat kami masih menghirup udara negeri sakura, pergantian tahun juga kami lewati di rumah. Bagi orang jepang, tahun baru adalah hari sepesial, waktunya berkumpul dengan keluarga besar layaknya hari raya. Perkantoran dan sekolah libur. Banyak toko/supermarket yang tutup. Selain itu transportasi umum sedikit yang beroperasi. Akhir tahun biasanya saya belanja makanan lebih banyak daripada biasanya. Memastikan stok logistic cukup karena pergantian tahun bersamaan dengan musim dingin yang bawaannya cepat lapar.

Tak jauh beda dengan di tanah air, beberapa hari ini saya juga mempersiapkan stok logistik lebih. Bukan karena khawatir banyak toko/pedagang yang tutup tapi lebih dikarenakan arus lalu lintas yang 'ga nyaman'. Saat pergantian tahun, kemacetan panjang bisa terjadi dimana-mana. Butuh waktu lama hanya untuk menuju jarak yang sebenarnya pendek. Makanya kalau tidak emergency, sebaiknya ga keluar rumah.

WELCOME 2011

Tuesday, August 24, 2010

Berpuasa di negeri sendiri

Kalo di Jepang, saat Ramadhan ataupun bukan, terasa tidak ada bedanya bagi saya. Ritme kerja tidak berbeda. Counter makanan ataupun restoran sama sibuknya saat siang ataupun malam hari. Orang-orang yang menikmati santap siang di tempat umum juga ga ada sepinya. Smoking corner juga tetap disinggahi para perokok. Tidak terdengar teriakan imsak ketika terbit fajar. Tidak ada juga ucapan selamat berbuka dari media televisi setempat. Yah, karena yang merasakan Ramadhan hanya umat muslim yang sedang singgah ataupun memang menetap di sana.Golongan minoritas yang mencoba tetap eksis di tengah masyarakat sekuler.

Sekarang saya merasakan lagi indahnya Ramadhan di tanah air. Jam biologis saya seakan diatur kembali. Satu jam sebelum imsak, tubuh seakan ada yang membangunkan dari tidur. Berniat di dalam hati untuk berpuasa, seakan ada kekuatan yang menopang diri saya menahan haus dan lapar. Sehabis subuh, beraktivitas seperti biasa hingga masuk waktu ashar. Setelah itu saatnya rehat sambil mempersiapkan berbuka. Lalu menunggu adzan maghrib sambil mendengarkan tausiyah.

Aktivitas siang hingga maghrib itu yang rasa berbeda sewaktu tinggal di Jepang. Tak jarang, waktu berbuka saya masih berada di perjalanan.

Namun, Ramadhan di tanah air tidaklah sesempurna harapan saya. Di tempat umum tetap saja ada yang tidak menghormati orang yang berpuasa. Para perokok tanpa rasa malu tetap mengepulkan asapnya. Warung-warung yang menjual makanan tetap ramai didatangi pengunjung di siang hari walaupun ditutupi kain.Sekilas, seperti tak ada bedanya dengan pemandangan di Jepang.

Mungkinkah saya yang berharap terlalu banyak? Ataukah kesadaran yang tidak kunjung tumbuh untuk menghormati orang yang berpuasa?

Monday, July 05, 2010

Curhat di antrian

Waduuuh... Antriannya panjang banget! Begitu deh kalau kesiangan datang ke bagian teller bank. Sebenarnya ga terlalu siang sih, baru juga jam 10 pagi tapi mungkin kebanyakan orang juga sempatnya datang pada jam tersebut jadi banyak sekali yang mengantri.

Iseng-iseng saya melirik orang yang berada di depan saya. Seorang wanita bersama anak lelaki. Taksiran saya mungkin umurnya antara 35-40 tahun dan. Dilihat dari dandanannya, wanita itu cukup modis. Blus lengan pendek warna merah marun dipadukan dengan celana jins ketat membungkus tubuhnya yang ramping. Rambutnya diberi highlite merah marun juga. Sapuan make up di wajahnya, membuat mukanya terlihat lebih terang dibanding warna leher dan tangannya.Tak lupa tas tangan berwarna coklat, bercorak tiruan inisial salah satu merek terkenal, melengkapi penampilannya.

Ups... ada lembaran formulir yang masih kosong tuh. Sebaiknya saya beritahu ah, biar nanti mempersingkat waktu transaksi di teller.
"Maaf bu, saya lihat formulirnya masih ada yang kosong tuh."
"Oh yang ini, harus diisi juga ya?" Dia menunjukkan formulir kosong yang saya maksud.
"Iya bu. Mending diisi sekarang, mumpung masih dekat pulpen. Biar di depan nanti ga perlu lama-lama"
"Iya deh."

Dia mengambil pulpen lalu mengisi formulir. Sementara antrian belum bergerak juga.

"Kayaknya masih lama ya mbak?! Wong dari 15 menit yang lalu saya masih tetap antri di sini." Wanita itu mungkin basa-basi menyapa saya.
"Iya nih"
"Padahal baru seminggu yang lalu saya kesini tapi ga seramai sekarang." Dia membenahi gendongan anaknya.
"Mungkin karena tanggal muda." Saya menimpali sekenanya.

Antrian bergerak sedikit. Anaknya terlihat tidak nyaman berada di tengah antrian. Bocah itu mulai rewel dan memukul-mukulkan tangan pada punggung ibunya.
"Sabar ya le, ibu kirim uang dulu buat kakakmu. Nanti dari sini kita naik angkot lagi, mau kan naik mobil?" Dengan dialek jawa, dia berusaha menenangkan anaknya.
"Putranya umur berapa bu?" Sambil bertepuk tangan ke arah anak itu, berharap bisa mengalihkan perhatiannya.
"Satu setengah tahun mbak. Maaf ya, anak saya rewel. Soalnya, dia biasa main lari-lari. Ya namanya juga anak lelaki, ga bisa diam."
"Itu pipinya kenapa?" Saya menunjuk bercak putih di pipi anaknya.
"Hehehe... Itu panu-an. Ya maklum lah, tinggal di lingkungan proyek bangunan. Mainnya sambil ngacak-acak pasir." Dia terkekeh.
"O.. begitu." Saya tersenyum.

"Suami saya kuli bangunan mbak. Dan kami juga tinggal di lokasi proyek."

"Kok ga cari kontarakan aja?"
"Walah, repot mbak. Tempat kerja bapaknya pindah-pindah. Sekarang proyeknya di Cibinong, beres di sini bisa aja pindahnya ke Depok, atau malah tambah jauh. Kalo ngontrak trus tempat kerjanya pindah lebih jauh, ya berat diongkos mbak."
"Iya juga ya bu."
"Lha gaji kuli kan segitu-gitu aja mbak. Ini aja, saya sisihkan sedikit biar bisa ngirimin anak yang di kampung. Seminggu sekali saya ke sini lho, buat ngirimin walaupun sedikit." Terdengar nada bangga dari suaranya.
"Ga apa-apa bu, sedikit demi sedikit kan nanti bisa jadi bukit." Berusaha membesarkan hatinya.
"Iya mbak ya, soalnya uang di tangan nanti ga terasa habisnya. Makanya tiap minggu kan bapaknya gajian, langsung aja sebagian dipisahkan buat anak yang satunya."
"Kok anak yang satu lagi ga dibawa ke sini, bu?" Saya bertanya penasaran.
"Udah sekolah, repot kalo pindah-pindah jadi saya titip aja sama mbahnya."
"Oo.. Begitu ya bu."

Antrian bergerak, kami pun maju.
"Tadinya saya juga di kampung kumpul sama anak karena tempat kerja bapaknya kan pindah-pindah. Tapi laki-laki kalo jauh dari anak istri, gampang tergoda mbak..." Tanpa sadar, wanita itu mulai curhat.

Bagaikan umbi yang sedikit muncul di permukaan tanah, tinggal memberi sedikit tarikan aja bakal lebih banyak umbi yang keluar.
"Biar ga tergoda, berarti laki-laki itu harus ditemani keluarganya terus ya bu?" Beri sedikit empati agar cerita lebih banyak keluar.
"Ya begitulah mbak. Saya udah ngalami sendiri. Waktu jauhan sama bapaknya, kalo ga saya yang nelpon, bapaknya mana ingat. Nafkah juga begitu, kalo ga dibilangin buat keperluan anak-anak, ga tahu deh kemana pergi gajinya."
"Kecapean kerja kali bu, jadi lupa mau nelepon keluarga."
"Ah, bukan itu mbak. Kemana lagi kalo ga nyari hiburan dan kesenangan sendiri, sampai gajinya habis ga jelas. Emangnya saya anak kemarin sore yang gampang dikibulin?!"
"Aduuh, maaf bu. Saya ga bermaksud begitu." Jadi salah tangkap nih.
"Makanya mbak, terpaksa saya berkorban jadi jauhan sama anak yang besar biar kumpul sama bapaknya."
"Iya bu, hidup itu penuh perjuangan dan pengorbanan ya?!"
"Benar mbak. Siapa lagi yang menjaga keutuhan keluarga, kalo bukan kita sendiri." Dia mengangguk mantap.

Bocah lelaki itu mulai rewel lagi. Ibunya kembali menenangkannya sambil mengalihkan perhatian.
"Eeh... Itu ada bunga le. Lihat itu." Sang ibu menunjuk deretan bunga plastik yang menghiasi salah satu sudut ruangan.
"Bagus ga bunganya? Coba dihitung le, bunganya ada berapa?" Sang anak melihat pada arah yang ditunjukkan oleh ibunya.
"Satu. Dua. Tiga. Ada berapa le?" Bocah itu terlihat mulai teralihkan dari kejenuhan mengantri.

Sementara antrian mulai bergerak. Satu, dua, tiga... Saya pun ikut menghitung. Hmm, masih sepuluh orang lagi, baru setelah itu giliran saya.

Sunday, June 06, 2010

Luar Biasa!

Pfuiih... berapa bulan ya blog ini ga update??! Maklum deh, penulisnya lagi banyak urusan ditambah lagi koneksi internet yang pas-pasan. Pas ke rumah sodara, pas kompie-nya bisa dipinjam bentar. Pas suami hari libur ngantor, bisa nebeng sebentar. Soalnya di rumah belum bisa online. Kalo ke warnet, ga nyaman.. :( Berisik ama yang maen game online. Ya gpp, pas-pasan aja deh. Alhamdulillah, sekarang bisa update.

Jum'at malam kemarin, sempat nonton talk show di Metro TV. Temanya tentang single parent (ibu) yang berhasil mendidik dan menjadikan anak-anaknya menjadi orang sukses. Single parent dengan 2 anak yang sukses, itu sih bukan hal yang aneh kali ya??! Yang menarik dari acara ini, jumlah anaknya itu ga tanggung-tanggung lho.. Ada yang anaknya 10 bahkan 15. Wow! Hari gini gitu lho, dengan biaya hidup maupun biaya pendidikan yang ga murah?! Luar biasa kan?!

Itu aja deh, update hari ini. Yang jelas saya masih terkagum-kagum dengan ibu-ibu tersebut.

Tuesday, March 09, 2010

Demam iPhone

Mulai pertengahan bulan Februari sampai hari ini, frekuensi pertemuan saya dengan teman-teman semakin rapat. Sebenarnya bukan karena saya punya ratusan teman di Tsukuba, hanya saja beda komunitas walaupun orangnya itu-itu juga. Paling ada 2 atau 3 orang yang berbeda.

Seringnya berkumpul, secara tidak sengaja saya jadi tahu telepon genggam yang banyak mereka pakai saat ini. Teman-teman yang orang Indonesia hampir semuanya sudah menggunakan iPhone kecuali saya, ibu itu... dan mbak itu. Saya rasa tentang apa itu iPhone, sudah mengerti ya?! Kalau belum ataupun kurang mengerti, silahkan tanya om Google :D

Melihat teman-teman menggunakan iPhone, terlihat praktis sekali. Dimana dan kapan pun mereka bisa online, main game, dengarin musik ataupun memeriksa dan membalas email. Belum lagi kalau ada objek yang bagus untuk dijepret, langsung deh bergaya. Trus fotonya bisa langsung upload ke situs jejaring sosial mereka. Praktis kan?!

Alasan kepraktisan itulah yang membuat saya juga tergoda untuk memiliki iPhone. Saya pun mengajukan proposal kepada suami, yang kemudian ditindak lanjuti dengan mencari info tentang benda tersebut.

Setelah menerima dan memikirkan masukan dari beberapa teman, termasuk di antaranya yang sudah menggunakan iPhone sejak beberapa bulan yang lalu, kami memutuskan tidak jadi membeli benda itu. Karena kemungkinan besar, tidak sesuai dengan kebutuhan kami.

Ya sudah, demam pun berlalu :D

Wednesday, March 03, 2010

Indonesia, Yang Saya Punya

Saat berpamitan dengan seorang kenalan yang kebetulan bukan orang Jepang, sebut saja namanya Ms. Mary, ada satu pertanyaannya yang cukup membuat saya sedikit tersindir.

"Are you really an Indonesian?"

"Yes, off course. Why did you ask it?" Saya mengira dia bercanda.

"Saya pernah berkunjung ke Jakarta selama satu bulan. Dan saya berhubungan dengan banyak orang Indonesia."

"Oh ya?!"

"Ya, dan saya perhatikan kalau hampir semua orang Indonesia itu berkulit hampir coklat. Tapi waktu pertama bertemu kamu...."

"Memangnya kenapa dengan saya??"

"Kulitmu putih. Dan waktu kamu bilang berasal dari Indonesia, saya agak kaget."

Ucapannya itu cukup membuat saya ge-er.
"Ooo, begitu kah?? Menurut anda, tadinya saya berasal dari mana?"

"Hmm... Kamu lebih mirip orang China."

"No... No. Hanya darah Indonesia yang saya punya. Asli."

"Benarkah? Tidak ada keturunan China?"

"Yang saya tahu, kakek-nenek asli Indonesia. Bahkan nenek buyut/ nenek ayah saya (masih hidup sampai saya masa kuliah), juga asli Indonesia. Seandainya kami ada keturunan China, pasti ada kebudayaan China yang kami jalani sehari-hari."
********

Singkat cerita, dia percaya saya orang Indonesia asli. Sebaliknya saya yang mulai gelisah. Asli Indonesia tapi apa saja yang sudah saya perbuat untuk bangsa dan tanah air Indonesia?

Tuesday, February 16, 2010

Made in Japan

Kalo orang Bali nikah sama orang Jepang, kira-kira nama yang cocok untuk anaknya apa coba???
Made in Japan!! Kan orang Bali banyak tuh, yang namanya pake embel-embel Made... Karena salah satu ortu-nya berdarah Jepang, nama yang cocok ya Made in Japan :D

Ya begitu dulu preface joke-nya ya... Tebakan lucu jadul, jaman saya sekolah dulu.
Saya bukan bermaksud menyinggung lho.... Hanya joke pengantar aja. Mohon maaf.

Yang ingin saya tulis juga bukan pernikahan beda bangsa ataupun beda budaya. Melainkan tentang barang-barang produksi Jepang yang semakin langka ditemukan. Walaupun saat ini saya berdomisili di Jepang, tapi saya cukup merasa kesulitan dalam mendapatkan barang tersebut.

Sebenarnya saya bukan termasuk orang yang 'Japan minded'. Hanya saja, berdasarkan pengalaman selama ini barang produksi Jepang lebih awet dibanding China ataupun lainnya. Kalo dilihat harga, lebih murah produk China tapi bila kita bandingkan dengan lama pemakaiannya sama saja.

Masalahnya sekarang, saya mencari barang yang akan diberikan sebagai oleh-oleh dari Jepang. Tentu saja saya berharap barang tersebut made in Japan. Nyatanya untuk mendapatkan barang tersebut tidaklah mudah. Seorang teman (orang Jepang) menyarankan, cari saja yang tulisan labelnya pakai huruf kanji semua walaupun bukan made in Japan . Jadi kan dianggap benar-benar produksi Jepang, kecuali orang yang menerima barang tersebut mengerti huruf kanji. Hihihi... nakal juga tuh, idenya :D