*****
Sebelum menginjakkan kaki di negeri sakura, saya membayangkan bahwa mungkin mayoritas orang Jepang akan menganggap aneh pada busana yang saya kenakan. Kala itu yang terpikir oleh saya, pasti banyak yang heran atau mungkin bertanya tentang busana. Wajar saja karena sedikit sekali orang Jepang (asli) yang muslim. Apalagi saat musim panas, mungkin mereka bakalan terheran-heran melihat cara berpakaian saya yang berbeda 180 derajat dengan orang-orang kebanyakan. Itu pikiran saya sebelumnya tapi setelah benar-benar menginjakkan kaki, tinggal dan bergaul dengan berbagai orang (tidak hanya orang Jepang asli tapi juga dari negara lainnya), ada hal lain yang mereka anggap aneh selain busana.
Yah, ada yang lain. Dan hal itu adalah "nama". Tidak hanya saya, tapi juga nama teman-teman Indonesia lainnya.
Keanehan itu bermula dari pengisian aplikasi mendapatkan eligibility untuk pengurusan visa saya. Sewaktu mengisi form tersebut, suami saya bertanya pada tutor-nya tentang hal-hal yang tidak dimengerti lalu juga minta dikoreksi apa-apa yang sudah diisi. Tutor-nya heran, kenapa nama saya yang diisi di dalam form tersebut tidak mencantumkan nama suami (baca : nama keluarga suami)? Waktu itu suami saya jawab (kalo ga salah), dia menulis nama saya sesuai dengan yang tercantum pada paspor. Tidak tahu juga, apakah tutor merasa jelas atau menganggap wanita Indonesia setelah menikah tidak harus mengikuti nama suami. Yang jelas, tidak ada pertanyaan lebih lanjut.
Berikutnya, sewaktu mendaftarkan diri di city office untuk mendapatkan ID card sebagai orang asing yang tinggal di Tsukuba (Jepang) dan mengurus asuransi kesehatan. Karena status visa saya yang dependent dengan visa suami, jadi harus mencantumkan hubungan antara kita berdua. Ya jelas hubungannya suami-istri dong ya... ?! Petugasnya sempat menatap aneh pada kita berdua waktu mengecek form yang kita isi (pas bagian relation with applicant). Tapi ga bertanya, mungkin maklum karena kita orang asing.
Naah... Pengalaman yang seru terjadi waktu saya mengikuti kelas bahasa Jepang. Mau tahu gimana serunya??? Cerita serunya silahkan dibaca setelah image berikut.
Di setiap level yang saya ikuti, nama selalu menjadi topik diskusi awal kelas. Kebetulan waktu itu hanya saya yang dari Indonesia. Supaya memudahkan, setiap orang yang ada di kelas (termasuk sensei) harus menulis nama dan negara asalnya pada name tag ukuran besar yang diletakkan didepan meja. Nama ditulis dalam huruf katakana dan Latin (Romaji) atau katakana dan kanji (bagi peserta yang negaranya juga menggunakan huruf kanji). Sebagian besar peserta berasal dari China dan Korea Selatan. Nama mereka kalo ditulis tidak sampai memenuhi kertas name tag yang disediakan walaupun sudah ditulis dengan huruf katakana. Misalkan Lou Ming Chen atau Hou En. Singkat kan?! Gimana dengan nama saya?? Kalo nama saya ditulis dengan katakana jadinya panjaaaang dan bikin kertas name tag jadi penuh.
Karena nama saya lain sendiri, sensei pernah tanya nama keluarga saya yang mana? Nama depan atau nama belakang? Formalnya memang nama keluarga yang dipake untuk panggilan atau berkenalan. Saya jawab aja, kalo saya ga pake nama keluarga dan sensei (juga teman-teman) bisa panggil saya Shinta.
Okashii! (Aneh) menurut mereka. Kenapa ga pake nama keluarga dari suami? Suami juga ga pake nama keluarga. Saya jelasin bahwa orang Indonesia banyak yang ga punya nama keluarga. Meskipun ada penduduk daerah/suku tertentu yang memang mewariskan nama keluarganya. Seperti orang Batak, Ambon, Manado dan suku lainnya yang punya dan mewariskan nama keluarga bagi keturunannya. Sekarang mungkin sudah banyak anak-anak yang menyandang nama keluarga (biasanya diambil dari nama belakang ayahnya). Tetapi pemberian nama keluarga (di Indonesia) belum ada peraturan yang mengharuskan. Pake nama keluarga boleh-boleh saja tapi kalau tidak dipake pun tidak masalah. Kayaknya mereka masih menganggap aneh tentang fenomena nama keluarga di Indonesia sehingga bikin mereka ingin tahu lebih jauh.
Sensei bilang, nama keluarga itu juga menandakan siapa nama orang tua (biologis) kita. Kalo tidak ada nama keluarga, gimana orang bisa tahu siapa orang tua kita? Ooo... kalo masalah itu, di Indonesia setiap anak harus punya akte kelahiran. Itu salah satu dokumen penting yang harus dimiliki. Di situ akan tertera siapa orang tua kandungnya.
Masih terheran-heran dengan penjelasan saya, sensei bertanya lagi. Berarti 2 kata itu semuanya nama Shinta san? Ya, semuanya nama saya. Apa mayoritas orang Indonesia namanya terdiri dari 2 kata? Soalnya nama orang Jepang terdiri dari 2 kata, given name and family name. Saya jawab, tidak selalu 2 kata karena banyak juga orang Indonesia yang namanya lebih dari 2 kata. Dan yang hanya satu kata juga ada. Hahh?? Kayaknya sensei dan teman-teman jadi bingung.
Tahu Dewi fujin? Ratna Sari Dewi (janda mendiang presiden Soekarno) di Jepang dipanggil Dewi fujin. Artinya madam Dewi. Suaminya kan presiden Indonesia yang pertama dan namanya Soekarno. Hanya satu kata, tanpa nama keluarga. Yah begitulah nama orang Indonesia.
Trus sensei pengen tahu juga aturan nama teman-teman lainnya. Jadi tambahan pengetahuan juga nih buat saya. Orang China dan Korea juga mewarisi nama keluarga. Hanya saja tidak seperti orang Jepang (dan orang-orang Barat mungkin termasuk juga Afrika), wanita China juga Korea yang sudah menikah tetap membawa nama keluarga sewaktu gadisnya. Jadi tidak mengikuti nama keluarga suami. Nama keluarga suami diwariskan kepada anak-anaknya.
Suami saya pernah bertanya, kenapa saya tidak memakai namanya dibelakang nama saya kalau menulis surat atau apa saja yang perlu mencantumkan nama (selain dokumen resmi)? Yah, saya lebih suka aja memakai nama saya sendiri tanpa embel-embel suami. Demikian juga kalo berkenalan. Ini hanya masalah kesukaan aja kok. Ada lho teman yang kalo berkenalan menyebutkan nama suaminya. Misalkan, kenalkan saya bu Agung. Maksudnya namanya suaminya Agung. Namanya sendiri tidak disebutkan. Kalo saya selalu menyebutkan nama saya sendiri. Kalo ditanya, istrinya siapa ya? Atau, suaminya yang mana ya? Baru deh saya menyebutkan nama suami. Saya bukan bermaksud tidak menghargai suami tetapi ingin orang mengenal saya apa adanya tanpa dikaitkan dengan embel-embel suami. Toh, tanpa embel-embel tetap aja akhirnya saya akan dikaitkan dengan suami. Karena dalam pernikahan suami adalah pakaian istri dan begitu pula sebaliknya.
Jadi teringat cerita salah seorang teman. Kebetulan dia memakai nama belakang ayahnya. Mungkin orang tuanya ingin mewariskan nama keluarga. Tapi setelah menikah timbul konflik batin. Menurut dia, ada perasaan sedih ketika menulis nama dan mengganti nama belakangnya dengan nama suami. Kalo tetap menulis nama ayahnya ntar bisa dikira itu nama suaminya (kalo orang yang tidak kenal). Kalo dihilangkan, kok ya jadi sedih.... Akhirnya dia menyiasati dengan tetap menuliskan inisial nama ayahnya baru diikuti nama suami. Lagi-lagi karena tidak ada aturan khusus tentang penamaan di negara kita.
Hal seperti itu tidak bermasalah bagi kaum lelaki, karena tidak terlalu berpengaruh. Saya sempat berpikir, kalau nanti punya anak perempuan tidak perlu memakai nama belakang ayahnya karena akan berubah ketika dia menikah kelak. Tapi suami saya kira-kira setuju ga ya??
Karena nama saya lain sendiri, sensei pernah tanya nama keluarga saya yang mana? Nama depan atau nama belakang? Formalnya memang nama keluarga yang dipake untuk panggilan atau berkenalan. Saya jawab aja, kalo saya ga pake nama keluarga dan sensei (juga teman-teman) bisa panggil saya Shinta.
Okashii! (Aneh) menurut mereka. Kenapa ga pake nama keluarga dari suami? Suami juga ga pake nama keluarga. Saya jelasin bahwa orang Indonesia banyak yang ga punya nama keluarga. Meskipun ada penduduk daerah/suku tertentu yang memang mewariskan nama keluarganya. Seperti orang Batak, Ambon, Manado dan suku lainnya yang punya dan mewariskan nama keluarga bagi keturunannya. Sekarang mungkin sudah banyak anak-anak yang menyandang nama keluarga (biasanya diambil dari nama belakang ayahnya). Tetapi pemberian nama keluarga (di Indonesia) belum ada peraturan yang mengharuskan. Pake nama keluarga boleh-boleh saja tapi kalau tidak dipake pun tidak masalah. Kayaknya mereka masih menganggap aneh tentang fenomena nama keluarga di Indonesia sehingga bikin mereka ingin tahu lebih jauh.
Sensei bilang, nama keluarga itu juga menandakan siapa nama orang tua (biologis) kita. Kalo tidak ada nama keluarga, gimana orang bisa tahu siapa orang tua kita? Ooo... kalo masalah itu, di Indonesia setiap anak harus punya akte kelahiran. Itu salah satu dokumen penting yang harus dimiliki. Di situ akan tertera siapa orang tua kandungnya.
Masih terheran-heran dengan penjelasan saya, sensei bertanya lagi. Berarti 2 kata itu semuanya nama Shinta san? Ya, semuanya nama saya. Apa mayoritas orang Indonesia namanya terdiri dari 2 kata? Soalnya nama orang Jepang terdiri dari 2 kata, given name and family name. Saya jawab, tidak selalu 2 kata karena banyak juga orang Indonesia yang namanya lebih dari 2 kata. Dan yang hanya satu kata juga ada. Hahh?? Kayaknya sensei dan teman-teman jadi bingung.
Tahu Dewi fujin? Ratna Sari Dewi (janda mendiang presiden Soekarno) di Jepang dipanggil Dewi fujin. Artinya madam Dewi. Suaminya kan presiden Indonesia yang pertama dan namanya Soekarno. Hanya satu kata, tanpa nama keluarga. Yah begitulah nama orang Indonesia.
Trus sensei pengen tahu juga aturan nama teman-teman lainnya. Jadi tambahan pengetahuan juga nih buat saya. Orang China dan Korea juga mewarisi nama keluarga. Hanya saja tidak seperti orang Jepang (dan orang-orang Barat mungkin termasuk juga Afrika), wanita China juga Korea yang sudah menikah tetap membawa nama keluarga sewaktu gadisnya. Jadi tidak mengikuti nama keluarga suami. Nama keluarga suami diwariskan kepada anak-anaknya.
Suami saya pernah bertanya, kenapa saya tidak memakai namanya dibelakang nama saya kalau menulis surat atau apa saja yang perlu mencantumkan nama (selain dokumen resmi)? Yah, saya lebih suka aja memakai nama saya sendiri tanpa embel-embel suami. Demikian juga kalo berkenalan. Ini hanya masalah kesukaan aja kok. Ada lho teman yang kalo berkenalan menyebutkan nama suaminya. Misalkan, kenalkan saya bu Agung. Maksudnya namanya suaminya Agung. Namanya sendiri tidak disebutkan. Kalo saya selalu menyebutkan nama saya sendiri. Kalo ditanya, istrinya siapa ya? Atau, suaminya yang mana ya? Baru deh saya menyebutkan nama suami. Saya bukan bermaksud tidak menghargai suami tetapi ingin orang mengenal saya apa adanya tanpa dikaitkan dengan embel-embel suami. Toh, tanpa embel-embel tetap aja akhirnya saya akan dikaitkan dengan suami. Karena dalam pernikahan suami adalah pakaian istri dan begitu pula sebaliknya.
Jadi teringat cerita salah seorang teman. Kebetulan dia memakai nama belakang ayahnya. Mungkin orang tuanya ingin mewariskan nama keluarga. Tapi setelah menikah timbul konflik batin. Menurut dia, ada perasaan sedih ketika menulis nama dan mengganti nama belakangnya dengan nama suami. Kalo tetap menulis nama ayahnya ntar bisa dikira itu nama suaminya (kalo orang yang tidak kenal). Kalo dihilangkan, kok ya jadi sedih.... Akhirnya dia menyiasati dengan tetap menuliskan inisial nama ayahnya baru diikuti nama suami. Lagi-lagi karena tidak ada aturan khusus tentang penamaan di negara kita.
Hal seperti itu tidak bermasalah bagi kaum lelaki, karena tidak terlalu berpengaruh. Saya sempat berpikir, kalau nanti punya anak perempuan tidak perlu memakai nama belakang ayahnya karena akan berubah ketika dia menikah kelak. Tapi suami saya kira-kira setuju ga ya??