Kalo di Jepang, saat Ramadhan ataupun bukan, terasa tidak ada bedanya bagi saya. Ritme kerja tidak berbeda. Counter makanan ataupun restoran sama sibuknya saat siang ataupun malam hari. Orang-orang yang menikmati santap siang di tempat umum juga ga ada sepinya. Smoking corner juga tetap disinggahi para perokok. Tidak terdengar teriakan imsak ketika terbit fajar. Tidak ada juga ucapan selamat berbuka dari media televisi setempat. Yah, karena yang merasakan Ramadhan hanya umat muslim yang sedang singgah ataupun memang menetap di sana.Golongan minoritas yang mencoba tetap eksis di tengah masyarakat sekuler.
Sekarang saya merasakan lagi indahnya Ramadhan di tanah air. Jam biologis saya seakan diatur kembali. Satu jam sebelum imsak, tubuh seakan ada yang membangunkan dari tidur. Berniat di dalam hati untuk berpuasa, seakan ada kekuatan yang menopang diri saya menahan haus dan lapar. Sehabis subuh, beraktivitas seperti biasa hingga masuk waktu ashar. Setelah itu saatnya rehat sambil mempersiapkan berbuka. Lalu menunggu adzan maghrib sambil mendengarkan tausiyah.
Aktivitas siang hingga maghrib itu yang rasa berbeda sewaktu tinggal di Jepang. Tak jarang, waktu berbuka saya masih berada di perjalanan.
Namun, Ramadhan di tanah air tidaklah sesempurna harapan saya. Di tempat umum tetap saja ada yang tidak menghormati orang yang berpuasa. Para perokok tanpa rasa malu tetap mengepulkan asapnya. Warung-warung yang menjual makanan tetap ramai didatangi pengunjung di siang hari walaupun ditutupi kain.Sekilas, seperti tak ada bedanya dengan pemandangan di Jepang.
Mungkinkah saya yang berharap terlalu banyak? Ataukah kesadaran yang tidak kunjung tumbuh untuk menghormati orang yang berpuasa?