Waduuuh... Antriannya panjang banget! Begitu deh kalau kesiangan datang ke bagian teller bank. Sebenarnya ga terlalu siang sih, baru juga jam 10 pagi tapi mungkin kebanyakan orang juga sempatnya datang pada jam tersebut jadi banyak sekali yang mengantri.
Iseng-iseng saya melirik orang yang berada di depan saya. Seorang wanita bersama anak lelaki. Taksiran saya mungkin umurnya antara 35-40 tahun dan. Dilihat dari dandanannya, wanita itu cukup modis. Blus lengan pendek warna merah marun dipadukan dengan celana jins ketat membungkus tubuhnya yang ramping. Rambutnya diberi highlite merah marun juga. Sapuan make up di wajahnya, membuat mukanya terlihat lebih terang dibanding warna leher dan tangannya.Tak lupa tas tangan berwarna coklat, bercorak tiruan inisial salah satu merek terkenal, melengkapi penampilannya.
Ups... ada lembaran formulir yang masih kosong tuh. Sebaiknya saya beritahu ah, biar nanti mempersingkat waktu transaksi di teller.
"Maaf bu, saya lihat formulirnya masih ada yang kosong tuh."
"Oh yang ini, harus diisi juga ya?" Dia menunjukkan formulir kosong yang saya maksud.
"Iya bu. Mending diisi sekarang, mumpung masih dekat pulpen. Biar di depan nanti ga perlu lama-lama"
"Iya deh."
Dia mengambil pulpen lalu mengisi formulir. Sementara antrian belum bergerak juga.
"Kayaknya masih lama ya mbak?! Wong dari 15 menit yang lalu saya masih tetap antri di sini." Wanita itu mungkin basa-basi menyapa saya.
"Iya nih"
"Padahal baru seminggu yang lalu saya kesini tapi ga seramai sekarang." Dia membenahi gendongan anaknya.
"Mungkin karena tanggal muda." Saya menimpali sekenanya.
Antrian bergerak sedikit. Anaknya terlihat tidak nyaman berada di tengah antrian. Bocah itu mulai rewel dan memukul-mukulkan tangan pada punggung ibunya.
"Sabar ya le, ibu kirim uang dulu buat kakakmu. Nanti dari sini kita naik angkot lagi, mau kan naik mobil?" Dengan dialek jawa, dia berusaha menenangkan anaknya.
"Putranya umur berapa bu?" Sambil bertepuk tangan ke arah anak itu, berharap bisa mengalihkan perhatiannya.
"Satu setengah tahun mbak. Maaf ya, anak saya rewel. Soalnya, dia biasa main lari-lari. Ya namanya juga anak lelaki, ga bisa diam."
"Itu pipinya kenapa?" Saya menunjuk bercak putih di pipi anaknya.
"Hehehe... Itu panu-an. Ya maklum lah, tinggal di lingkungan proyek bangunan. Mainnya sambil ngacak-acak pasir." Dia terkekeh.
"O.. begitu." Saya tersenyum.
"Suami saya kuli bangunan mbak. Dan kami juga tinggal di lokasi proyek."
"Kok ga cari kontarakan aja?"
"Walah, repot mbak. Tempat kerja bapaknya pindah-pindah. Sekarang proyeknya di Cibinong, beres di sini bisa aja pindahnya ke Depok, atau malah tambah jauh. Kalo ngontrak trus tempat kerjanya pindah lebih jauh, ya berat diongkos mbak."
"Iya juga ya bu."
"Lha gaji kuli kan segitu-gitu aja mbak. Ini aja, saya sisihkan sedikit biar bisa ngirimin anak yang di kampung. Seminggu sekali saya ke sini lho, buat ngirimin walaupun sedikit." Terdengar nada bangga dari suaranya.
"Ga apa-apa bu, sedikit demi sedikit kan nanti bisa jadi bukit." Berusaha membesarkan hatinya.
"Iya mbak ya, soalnya uang di tangan nanti ga terasa habisnya. Makanya tiap minggu kan bapaknya gajian, langsung aja sebagian dipisahkan buat anak yang satunya."
"Kok anak yang satu lagi ga dibawa ke sini, bu?" Saya bertanya penasaran.
"Udah sekolah, repot kalo pindah-pindah jadi saya titip aja sama mbahnya."
"Oo.. Begitu ya bu."
Antrian bergerak, kami pun maju.
"Tadinya saya juga di kampung kumpul sama anak karena tempat kerja bapaknya kan pindah-pindah. Tapi laki-laki kalo jauh dari anak istri, gampang tergoda mbak..." Tanpa sadar, wanita itu mulai curhat.
Bagaikan umbi yang sedikit muncul di permukaan tanah, tinggal memberi sedikit tarikan aja bakal lebih banyak umbi yang keluar.
"Biar ga tergoda, berarti laki-laki itu harus ditemani keluarganya terus ya bu?" Beri sedikit empati agar cerita lebih banyak keluar.
"Ya begitulah mbak. Saya udah ngalami sendiri. Waktu jauhan sama bapaknya, kalo ga saya yang nelpon, bapaknya mana ingat. Nafkah juga begitu, kalo ga dibilangin buat keperluan anak-anak, ga tahu deh kemana pergi gajinya."
"Kecapean kerja kali bu, jadi lupa mau nelepon keluarga."
"Ah, bukan itu mbak. Kemana lagi kalo ga nyari hiburan dan kesenangan sendiri, sampai gajinya habis ga jelas. Emangnya saya anak kemarin sore yang gampang dikibulin?!"
"Aduuh, maaf bu. Saya ga bermaksud begitu." Jadi salah tangkap nih.
"Makanya mbak, terpaksa saya berkorban jadi jauhan sama anak yang besar biar kumpul sama bapaknya."
"Iya bu, hidup itu penuh perjuangan dan pengorbanan ya?!"
"Benar mbak. Siapa lagi yang menjaga keutuhan keluarga, kalo bukan kita sendiri." Dia mengangguk mantap.
Bocah lelaki itu mulai rewel lagi. Ibunya kembali menenangkannya sambil mengalihkan perhatian.
"Eeh... Itu ada bunga le. Lihat itu." Sang ibu menunjuk deretan bunga plastik yang menghiasi salah satu sudut ruangan.
"Bagus ga bunganya? Coba dihitung le, bunganya ada berapa?" Sang anak melihat pada arah yang ditunjukkan oleh ibunya.
"Satu. Dua. Tiga. Ada berapa le?" Bocah itu terlihat mulai teralihkan dari kejenuhan mengantri.
Sementara antrian mulai bergerak. Satu, dua, tiga... Saya pun ikut menghitung. Hmm, masih sepuluh orang lagi, baru setelah itu giliran saya.