Siang itu aku sedang berjalan menuju halte bis pulang dari kantor pos. Keringat terasa membasahi tubuhku dan tenggorokan terasa kering. Pada musim panas, suhu udara di Tsukuba memang terasa lebih panas dibanding Jakarta. Kulirik jam di pergelangan tangan, masih ada waktu dua puluh menit untuk mengejar bis yang menuju ke asrama. Langkah kakiku semakin dipercepat, agar aku sampai lebih cepat di halte dan bisa melepas lelah sebentar.
“Pfuuh…. Sampai juga, lumayan ada waktu beberapa menit untuk istirahat sebelum bis datang.” Pikirku, sambil menyeka keringat di wajah.
Cukup banyak juga orang yang sedang menunggu bis di halte itu. Kucoba mencari celah kosong pada bangku yang disediakan. Sayang sekali, semua terisi penuh. Apa boleh buat, terpaksa aku menunggu sambil berdiri.
Sekilas aku menangkap pandangan heran dari beberapa orang yang menunggu di sana. Mungkin penampilanku terlihat aneh di mata mereka. Tinggal di negara dengan mayoritas penduduk beragama non muslim, mendapati pandangan aneh atas penampilan bukanlah suatu hal yang baru. Sehingga hal seperti itu tak perlu dihiraukan.
Menunggu dalam suasana gerah begini membuatku teringat kembali dengan kejadian di kelas bahasa Jepang pada musim panas tahun lalu. Walaupun kelas dimulai pada pukul 10.30, tapi di musim panas keadaannya hampir sama dengan pukul 12.00 siang.
*****
“Kyoo wa totem atsui desyo ne….” Kata sensei sambil membuka semua jendela lebar-lebar. Walaupun tersedia AC, namun tetap tidak bisa mendinginkan suhu panas saat itu. Agaknya AC itu sudah tua sehingga kurang berfungsi dengan baik.
“So desu ne…” Semua menjawab hampir bersamaan.
Sensei kemudian menatapku, “dengan pakaian serba tertutup begitu, apa tidak kepanasan?” Beliau menyatakan keheranannya atas pakaianku.
“Yah, cukup panas. Tapi tidak apa-apa.”
Walaupun peserta kelas ini perempuan semua termasuk juga sensei, tapi hanya aku yang berpakaian muslim. Yang lainnya berpakaian sesuai dress code musim panas, berbahan tipis menyerap keringat dan serba terbuka di sana-sini. Mungkin itulah yang membuat sensei heran terhadapku.
“Bagaimana kalau penutup kepalanya dibuka saja? Lumayan bisa mengurangi rasa gerah.” Sensei memberi saran padaku.
“Maaf sensei, saya tidak bisa melakukan itu.” Jawabku sambil tersenyum agar beliau tidak tersinggung
“Di kelas ini dulu juga pernah ada peserta yang berasal dari timur tengah. Seorang perempuan muslim dan juga memakai penutup kepala.” Ujar sensei. “Namun kain penutup kepalanya hanya diikatkan pada leher, sehingga mudah dibuka dan dipasang kembali. Kalau di dalam kelas, penutup kepala itu dibuka karena semuanya perempuan. Menurut dia, bila di dalam ruangan hanya perempuan, boleh saja menampakkan rambut.”
Sensei kembali menatapku. Sepertinya beliau dan teman-teman di kelas menunggu tanggapanku tentang ceritanya tersebut. Aku tahu saran sensei itu mengandung maksud baik, agar aku dapat merasa nyaman dalam ruangan yang panas seperti itu. Suhu panas di dalam ruangan insyaAllah masih bisa kutahan dan aku sudah memilih pakaian yang bahannya menyerap keringat. Dan semua yang ada di dalam ruangan itu non muslim kecuali aku. Menanggapi dengan alasan seperti itu rasanya kurang mengena bagi sensei dan teman lainnya.
Akhirnya akupun menjawab, “penutup kepala saya hanya dibuka saat di rumah dan dihadapan keluarga saja.”
“Kalau di rumah ada tamu, berarti juga berpakaian seperti ini?” tanya sensei. Sayapun mengangguk tegas. Senseipun diam, lalu mengalihkan pembicaraan.
Seandainya sensei bertanya, kenapa? Aku akan menjawab, “saya ingin disayang Allah dengan mengikuti perintahnya.” Dan dengan pakaian ini insyaAllah kesucianku akan selalu terjaga.
“…. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu…….” (Al Ahzab : 59)
*****
Bis yang ditunggu telah datang. Akupun bergegas antri untuk memasukinya. Alhamdulillah, bis siang itu tidak terlalu penuh sehingga aku masih mendapat tempat duduk. Pintu mulai ditutup dan bis perlahan-lahan mulai bergerak meninggalkan halte itu.
Wallahua’alam bisshowab.
Publikasi di eramuslim
2 comments:
Mbak Shinta, ternyata pengalaman kita hampir2 sama ya, dulu sensei nihon go juga begitu dan kebetulan semua muridnya perempuan semua dan semua sudah ibu2.Saat itu saya cuma bilang : maaf karena saya muslim saya tidak bisa melakukannya. Sensei pun memakluminya.
Mbak Shinta dan Mbak Anisa (serasa nyebut diri sendiri, hehe..) sampe sekarang masih aja ada yang memandang aneh orang yang berjilbab tertutup.. but it's Ok.. kita ingin disayang Allah :) sensei nihonggo saya juga penasaran, rambut saya kayak apa. ya aku bilang aja, sama aja sama cewek yang lain... :)
Post a Comment